Menjaga Rasionalitas di dalam Beragama

Penulis : Teguh Pramono, M.Si
Dosen Prodi teologi STT Kanaan Nusantara Ungaran

JURNALJATENG.ID, SEMARANG – Di Indonesia ada beberapa macam agama dan kepercayaan yang diakui pemerintah. Ada enam agama dan kepercayaan yang secara hukum dilindungi oleh undang-undang. Kemajemukan tersebut disamping memang perlu kita rayakan karena memberikan keindahan keanekaragaman, namun disisi lain seringkali menjadi penyebab terjadinya konflik jika tidak disikapi dengan baik.

Konflik sendiri seringkali terjadi karena fanatisme agama yang buta. Fanatik terhadap agama atau kepercayaan sendiri memang tidak menjadi masalah, namun fanatik yang disertai dengan sikap kalau tidak sama dengan agama dan kepercayaannya berarti adalah “musuh” agama atau kepercayaannya tertentulah yang menjadikan fanatisme tersebut pada akhirnya selalu berakhir munculnya konflik. Memandang yang lain sebagai “musuh” karena tidak sama pandangan agama dan kepercayaan, seringkali masih muncul walaupun sikap toleransi dan kerukunan sudah sering dikampayekan.

Hal itu terlihat dengan banyaknya kasus konflik dan perundungan karena agama dan kepercayaan yang berbeda. Sebagai contoh seperti yang dilaporkan dalam artikel ITS News, 25 September 2021 dengan judul “Toleransi Beragama Indonesia: Bagaikan Gajah di Pelupuk Mata” sebagai berikut :

Laporandari BBC News yang menyebutkan dalam sepuluh tahun terakhir terdapat setidaknya 200 gereja disegel dan ditolak warga.

Tirto.id, salahsatu portal berita daring juga menyebutkan hal serupa. Dalam publikasinya berjudul “Kasus Intoleransi Terus Bersemi Saat Pandemi” terdapat banyak praktek intoleransi pada umat minoritas selama masa pandemi.

Beberapakasus yang teridentifikasi sepanjang 2020 adalah jemaat Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Kota Serang Baru yang diganggu saat beribadah pada 13 September, sekelompok warga Graha Prima Jonggol menolak ibadah jemaat Gereja Pantekosta Bogor pada 20 September, umat Kristen di Desa Ngastemi dilarang beribadah oleh sekelompok orang pada 21 September, dan larangan beribadah terhadap jemaatRumah Doa Gereja GSJA Kanaan di Kabupaten Nganjuk pada 2 Oktober.

loading...
Baca Juga  Penerapan Metode STAD Dalam Persiapan Lomba Mata Pelajaran Agama Kristen CCA

Bukan hanya dilarang beribadah, terdapat pula kasus surat edaran dari Dinas Pendidikan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung memberikan instruksi seluruh siswa SMA/SMK untuk wajib membaca buku Muhammad Al-Fatih 1453 karya Felix Siauw.

Meskipun akhirnya surat edaran tersebut dibatalkan satuhari setelahnya, kejadian ini menyulut emosi banyak pihak dan menjadi pemicu timbulnya pertanyaan tentang seberapa banyak kasus intoleransi yang tidak terekspos kepermukaan?
Di dalam beragama, orang diperhadapkan pada tantangan antara apa yang dikatakan sebagai kategori beriman. Iman seringkali dipandang dengan apapun yang dikatakan oleh kitab suci dari agama tersebut. Namun, sayangnya iman yang berdasar apa yang dikatakan kitab suci tersebut tidak didasarkan pada pemahaman yang didapat dari penggalian secara mendalam yang dilakukan sendiri dengan referensi-referensi yang memadai, akan tetapi lebih sering iman didasarkan dengan apa yang dikatakan orang lain yang dianggap pakar (tetapi sering kali kepakarannya belum juga divalidasi). Iman yang diistilahkan oleh Larry Kimbal didalam buku “Kala Agama Menjadi Bencana” sebagai iman yang buta. Iman yang tidak diolah dengan pikiran kritis secara rasional. Iman yang tidak didasarkan pada konteks di dalam memahami kitab suci namun lebih dihasilkan dari pengajaran segelintir orang yang didengar dari ceramah-ceramah langsung atau dari media sosial.

Keadaan tersebut, lebih berat lagi adalah ketika agama dijadikan komoditas politik bagi segelintir orang. Dengan memakai fanatisme agama orang memakai ayat-ayat kitab suci untuk memanipulasi umat demi ambisi politik. Dalih dan dalil diberikan yang kadang hanya untuk tujuan kemenangan politik saja dilegalkan tanpa mempedulikan konflik yang ditimbulkannya.
Sebenarnya bagaimana beragama yang baik yang membawa kedamaian? Bagaimana beriman namun tidak meninggalkan rasionalitas?Apakah memungkinkan untuk menalar Allah yang disampaikan kitab suci?

Baca Juga  Polres Kendal Ungkap 7 Kasus, Salah satunya Spesialis Ranmor

Frans Magnis Suseno dalam buku “MenalarTuhan”, memberikan paparan bahwa sangat dimungkinkan untuk orang mempercayai Allah tanpa meninggalkan nalar berpikirnya. Menalar bukan untuk mengetahui Allah atau mengungkung Allah di dalam pikiran manusia, namun lebih diarahkan untuk beragama yang tidak bertentangan dengan akal budi. Lebih jauh Rama Magnis juga menyatakan: Di Indonesia, yang menjadi masalah bukan ketuhanan, melainkan bagaimana ketuhanan dapat dihayati dengan cara yang tidak bertentangan dengan kemanusiaan yang adildan beradab.

Apa yang dikatakan oleh Rama Magnis sangat relevan dengan bagaimana seseorang perlu menjaga rasionalitasnya. Seringkali di dalam mempelajari kitab suci, kebanyakan orang memiliki pemahaman bahwa itu hanya dapat dilakukan oleh mereka yang memiliki kekhususan belajar tentang kitab suci agama dan kepercayaan tertentu itu sendiri. Pada tataran tertentu mungkin itu benar, namun dengan perkembangan teknologi yang terjadi saat ini dan melimpahnya ketersediaan informasi yang berkaitan kitab suci di dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh penganut agama dalam konteks tertentu, seseorang dapat mempelajari agama dengan mendalam tanpa hanya mempercayai seseorang yang dikatakan ahli. Artinya seseorang bisa mengkaji ulang setiap pengajaran yang didapatnya baik secara langsung atau via media sosial secara kritis dengan memakai referensi-referensi yang dianggap valid.

Tentu saja proses tersebut bukan berarti proses yang kemudian menegaskan para ahli agama. Yang penulis maksudkan adalah seorang penganut agama yang bisa dikata tidak ahli, masih memiliki kesempatan yang terbuka luas, untuk mencari tahu, baik dari hasil penelaahan pribadi dengan memakai nalarnya dengan referensi-referensi yang memadai dan valid.
Penulis mengakui bahwa belajar kitab suci tanpa berdiskusi yang lebih banyak lagi dari sumber-sumber lain seringkali juga beresiko. Seseorang bisasaja jatuh pada radikalisme ketika bertemu sumber-sumber yang salah. Disinilah diperlukan kemandirian diimbangi dengan mencari pendapat – pendapat lain (second opinion) sambil secara rasional menelaah hasil temuan dan kesimpulan yang diambil dan mengukurnya secara etis untuk kemudian lebih lanjut melihat apakah temuan dan kesimpulan tersebut sudah juga memenuhi kaidahk emanusiaan yang adil dan beradab. Karena sesungguhnya pernyataan Yesus sangat relevan dalam hal ini bahwa untuk mengasihi yang kelihatan (sesama dan alam semesta) dan yang tidak kelihatan (khususnyaAllah), adalah dua hal yang tidak terpisahkan.

Baca Juga  Forum Kyai NU Kendal Deklarasi Dukung Paslon Bupati Tino-Mustamsikin TIMUS

Pikiran kritis dalam hal ini menjadi penting untuk dikembangkan. Baik ketika seseorang menerima pengajaran dari seseorang yang dikatakan pakar dan atau dari sumber-sumber lain. Seseorang perlu memakai nalar kritisnya untuk memercayai sesuatu hal dan untuk sampai yang dinamakan iman yang mempengaruhi tindakannya. Pikiran Kristis mengajak orang untuk beragama secara rasional sehingga orang tidak mudah diombang ambingkan dengan ajaran-ajaran yang bisa jadi radikal dan destruktif.

131 tanggapan untuk “Menjaga Rasionalitas di dalam Beragama

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.