Quo Vadis Kebebasan Berkesenian?

Kebebasan berkesenian di Indonesia hari-hari ini terancam.

Tentu saja hal ini sangat memprihatinkan sekaligus mencemaskan.

Ketika band punk rock Sukatani asal Purbalingga, Jawa Tengah, mendadak mengklarifikasi dan menyampaikan permintaan maaf kepada Kepolisian Indonesia atas lagu berjudul “Bayar Bayar Bayar,” pada Kamis, 20 Februari 2025, kita pun tersentak.

Apakah yang sesungguhnya terjadi?

Penggalan lirik lagu itu, antara lain menyebutkan:

mau bikin SIM, bayar polisi , ketilang di jalan, bayar polisi

touring motor gede, bayar polisi ,angkot mau ngetem, bayar Polisi

loading...

Melalui akun media sosial Sukatani, dua personel yang kerap menutupi identitasnya dengan topeng dan memakai nama samaran Electroguy dan Twister Angel saat manggung tampil tanpa penutup wajah.

Gitaris Muhammad Syifa Al Lufti dan vokalis Novi Citra Indriati meminta maaf kepada Polri.

Mereka juga menarik lagu tersebut dari seluruh akun media sosialnya.

Oleh karena itu, Sukatani pun tak lagi membawakan lagu “Bayar Bayar Bayar”.

Ketika pada Minggu malam, 23 Februari 2025, keduanya tampil lagi pada konser Crowd Noise di Tegal, mereka pun tak menanggapi permintaan publik agar menyanyikan lagu yang kontroversial itu.

Para penonton tentu kecewa, karena sampai acara berakhir lagu tersebut tak dibawakan. Hal yang sama terjadi pula saat mereka tampil di Yogyakarta, Selasa, 25 Februari 2025.

Akan tetapi, Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo memberikan tanggapan soal dugaan intimidasi terhadap Band Sukatani.

Menurutnya, permintaan maaf dari band Sukatani kepada Polri merupakan miskomunikasi.

Baca Juga  Tutup Kampanye,Kiai Jaga NU Pekalongan Raya Langitkan Doa untuk Ganjar-Mahfud

Listyo juga menegaskan bahwa Polri tidak antikritik. Kritik adalah pemantik agar anggota kepolisian tersebut menerus memperbaiki pelayanan menjadi lebih baik.

Tentu saja pembungkaman terhadap karya Band Sukatani itu merupakan pelanggaran hak asasi manusia.

Saya kira kita tidak perlu kembali ke zaman Orde Baru, ketika pembredelan terhadap kebebasan berekspresi dalam bentuk karya seni adalah hal biasa.

Harus diakui, dari tahun ke tahun, pelanggaran kebebasan berkesenian sering terjadi di Indonesia.

Pelanggaran ini terjadi paling banyak pada bidang seni musik, kemudian tari, teater, seni rupa, film, dan sastra.

Padahal kebebasan berekspresi, termasuk lewat kesenian, merupakan hak asasi manusia dan menjadi salah satu prasyarat demokrasi.

Undang-undang Dasar (UUD) 1945, Pasal 28E Ayat (3), menyebutkan, ”Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.

Di samping itu, kebebasan berpendapat juga dijamin Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia serta Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

Pembatasan kebebasan berkesenian di Indonesia yang semakin sering terjadi tentu saja merugikan para seniman.

Padahal kebebasan berekspresi adalah salah satu pilar penting dalam negara demokrasi.

Setiap orang memiliki hak untuk mengungkapkan pendapat, ide, atau bahkan kritik terhadap kondisi sosial, politik, dan ekonomi melalui berbagai bentuk kesenian.

Sesungguhnya hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat makin terancam dengan disahkannya perubahan Undang-Undang tentang Organisasi Kemasyarakatan, di mana menghapus mekanisme pengadilan untuk membubarkan organisasi masyarakat sipil.

Baca Juga  Kapolda Jateng: Tutup Ruang Untuk Kelompok Intoleran

Tidak hanya hak sipil dan politik yang terancam, hak ekonomi dan sosial juga makin rentan karena perlindungan untuk pekerja seni masih absen dalam kebijakan negara.

Kebebasan berkesenian dilindungi oleh berbagai instrumen hukum internasional.

Kebebasan ini didefinisikan sebagai kebebasan membayangkan, menciptakan, dan mendistribusikan beragam ekspresi budaya, bebas dari sensor pemerintah, intervensi politik, atau tekanan dari aktor-aktor non-Negara–termasuk hak semua warga negara atas akses ke semua bentuk kesenian.

Kebebasan berkesenian bukan hanya urusan kebebasan berekspresi.

Ada enam hak yang tercakup di dalamnya, diadaptasi dari beberapa hak dasar yang tercantum dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, serta Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.

Keenam hak dalam kebebasan berkesenian merupakan bagian dari hak sipil dan politik serta hak ekonomi, sosial, dan kebudayaan.

Bagi UNESCO, kebebasan berkesenian adalah indicator kunci dari komitmen negara untuk mendorong keragaman industri budaya dan kreatif.

Ia adalah satu dari beberapa tema yang wajib dilaporkan oleh negara anggota dalam Laporan Periodik Empat Tahunan Konvensi UNESCO 2005 tentang Perlindungan dan Promosi Keragaman Ekspresi Budaya.

Ketika kebebasan berkesenian dihambat, kesenian masih terkena stigma, perangkat kebijakan masih belum berpihak pada seniman, dan ruang berkesenian belum aman, tentu saja membuat para seniman menjadi terbatas aktivitas dan kreativitasnya.

Kesenian sering dilarang karena dianggap memicu tindakan yang bertentangan dengan moralitas dan norma yang berlaku di masyarakat.

Baca Juga  Ketua DMI Kota Semarang Minta Takmir Masjid Sosialisasikan Vaksinasi

Sejumlah regulasi seperti peraturan daerah menunjukkan hal itu. Bahkan ruang berkesenian kita ternyata masih belum sepenuhnya aman bagi perempuan dan gender minoritas.

Ada stigma bahwa kesenian, khususnya musik, memicu penggunaan napza. Ada pula anggapan bahwa beberapa bentuk ekspresi kesenian dianggap vulgar dan tidak sesuai dengan norma yang berlaku di daerah-daerah tertentu.

Kesenian juga dilarang karena stigma terhadap kelompok LGBTIQ.

Barangkali perlu suatu ruang dialog untuk membahas isu kebijakan seni dan kebebasan berkesenian, baik berupa hasil kajian ilmiah maupun praktik di lapangan.

Dibutuhkan aksi yang lebih nyata dan mengikat bagi daerah-daerah kabupaten dan kota untuk terus mengadvokasi pemenuhan kebebasan berkesenian.

Gunoto Saparie adalah Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT)