MENCOBA MEMAHAMI IRSHAD MANJI
Kita, sesungguhnya, tak pernah benar-benar selesai dengan pertanyaan lama:
apa yang membuat sebuah agama tetap hidup di zaman yang terus berubah?
Di tengah suara-suara lantang yang mengutip dalil dengan pasti, datang seorang perempuan yang bicara dengan nada pelan namun mengusik: Irshad Manji.
Namanya seolah dilempar dari sudut dunia yang jauh—Kanada, tetapi justru membentur tembok-tembok pikiran di banyak negeri Muslim, termasuk Indonesia.
Manji memang bukan ulama. Ia tak pernah mengklaim diri sebagai mujtahid atau ahli tafsir.
Akan tetapi, dari balik ruang kuliahnya dan layar-layar televisi di Barat, ia menulis buku The Trouble with Islam Today—sebuah surat cinta dan sekaligus surat protes kepada agamanya sendiri.
Sebuah kontradiksi yang hanya bisa dimengerti bila kita menganggap iman tak selalu berarti patuh.
Ia menyebut dirinya “Muslim yang berpikir bebas.” Di dalamnya, ada luka yang lama, dan ada cinta yang keras kepala.
Taklid Versus Ijtihad yang membuat Manji kontroversial bukan hanya karena ia mempertanyakan tafsir literal terhadap ayat-ayat suci, atau karena keberaniannya membela hak-hak LGBT dalam komunitas Muslim.
Akan tetapi, karena ia menolak taklid.
Ia menghidupkan kembali satu kata lama dalam sejarah Islam: ijtihad—usaha berpikir kritis dan independen dalam memahami wahyu.
Bagi banyak orang, terutama mereka yang tinggal di dalam kubu yang sudah nyaman, itu terdengar seperti pemberontakan.
Akan tetapi, bukankah agama sendiri pernah lahir dari keberanian untuk berpikir berbeda?
Di Indonesia, tanah yang dikenal ramah namun juga mudah panas, nama Irshad Manji sempat bergema.
Beberapa tahun lalu buku-bukunya diterjemahkan. Ia sempat datang, mengisi diskusi, dan diusir dari forum-forum.
Acara bedah bukunya dibubarkan oleh kelompok-kelompok yang merasa terganggu.
Akan tetapi, seperti suara pelan yang tak sempat dimatikan, pikirannya tinggal dan menyelinap, perlahan, ke ruang-ruang diskusi di kampus, di media sosial, dan di antara mereka yang diam-diam mempertanyakan.
Pembaruan pemikiran Islam di Indonesia memang bukan hal baru.
Kita punya warisan panjang: dari Harun Nasution, Nurcholish Madjid, hingga Ulil Abshar Abdalla.
Akan tetapi, yang dibawa Manji justru berbeda.
Ia tak hanya berbicara soal teologi atau politik, namun juga soal keberanian pribadi—membaca ulang naskah suci dengan suara hati, bukan hanya dengan suara mayoritas.
Ia mengusulkan satu hal yang mungkin paling sulit: integritas individual dalam beragama.
Bahwa menjadi Muslim bukan berarti kehilangan diri sendiri.Apakah ia terlalu liberal? Mungkin.
Akan tetapi, batas antara keberanian dan kebebasan selalu kabur.
Dan dalam kaburnya batas itulah, gagasan Manji menjadi cermin—meski retak—bagi umat Islam Indonesia.
Ia tak memberi jawaban, tetapi menggoda kita untuk bertanya.
Dalam esai-esai Manji, selalu ada ruang untuk jeda, ruang bagi pembaca untuk bernapas dan berpikir sendiri.
Mungkin itu pula yang ditawarkan olehnya—meski dengan cara yang lebih keras.
Ia menulis bukan untuk meyakinkan, tetapi untuk mengganggu. Dan di zaman ketika suara-suara kebenaran terasa semakin mutlak, mungkin gangguan semacam itu justru yang kita butuhkan.
Sebab pada akhirnya, agama yang hidup bukanlah agama yang menolak pertanyaan, tetapi yang mampu menampungnya.
Seperti langit, yang tak pernah hancur oleh guntur.
Gunoto Saparie adalah Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Orwil Jawa Tengah