MENTERI KEUANGAN BARU, HARAPAN LAMA PARADOKS EKONOMI HINGGA DRAMA POLITIK

Di Istana Negara, pada awal September, Presiden Prabowo Subianto melantik Purbaya Yudhi Sadewa sebagai Menteri Keuangan.

Ia menggantikan Sri Mulyani Indrawati, yang selama hampir dua dekade menjadi wajah paling berpengaruh di Kementerian Keuangan itu, bukan hanya di Jakarta tapi juga di ruang-ruang pertemuan Washington dan Davos.

Pergantian ini, ditulis dalam Keputusan Presiden Nomor 86/P Tahun 2025, terdengar administrative: nama diganti, kursi berpindah.

Tapi kita tahu, yang berpindah bukan hanya orang. Yang ikut berpindah adalah harapan, ketakutan, dan imajinasi tentang masa depan.

Purbaya bukan figur asing. Ia ekonom yang pernah lama berkecimpung di Lembaga Penjamin Simpanan, pernah pula masuk lingkar kebijakan fiskal dan moneter.

Tetapi jabatan Menteri Keuangan bukan sekadar soal kecakapan teknis. Sejak Orde Baru berakhir, kursi itu menjelma semacam barometer: siapa yang duduk di sana, akan menandai ke arah mana perekonomian negeri ini bergerak.

Pertanyaannya selalu sama: Bagaimana menjaga pertumbuhan tanpa mengabaikan keadilan?

loading...

Bagaimana mengatur utang tanpa kehilangan ruang bernapas?

Sri Mulyani, dengan reputasi keras kepala dan disiplin fiskal yang hampir puritan, pernah dianggap mampu menjaga neraca.

Tapi ia juga kerap dituding terlalu patuh pada resep-resep global, terlalu berhitung pada angka defisit, terlalu jauh dari denyut pedagang di Pasar Klewer atau petani di Pati.

Kini Purbaya masuk. Dan publik, yang sudah jenuh dengan jargon stabilitas, tentu menunggu apakah ada sesuatu yang lebih manusiawi dari sekadar angka makro.

Baca Juga  PENATAAN ODOL HARUS BERTAHAP: PENDEKATAN BERBASIS DATA DAN KOMODITAS UNTUK MENJAGA STABILITAS SISTEM LOGISTIK

Ekonomi bukan hanya inflasi yang ditekan, bukan hanya kurs yang dijaga, tapi juga cerita tentang harga gabah yang membuat petani tersenyum atau tertunduk.

Paradoks Ekonomi

Tetapi cerita itu tak pernah sederhana. Indonesia hari ini berdiri di tepi paradoks.

Pertumbuhan lima persen dianggap “baik”, padahal ia sering berarti ketimpangan tetap menganga.

Anggaran negara disusun dengan hati-hati, tetapi utang, yang sudah lebih dari Rp 8.000 triliun, mengintai seperti bayangan panjang.

Menteri baru akan dituntut menemukan keseimbangan yang rapuh: menenangkan pasar keuangan sekaligus meyakinkan rakyat bahwa “keadilan sosial” bukan hanya retorika konstitusi.

Ada pula soal global. Dunia tengah memasuki era baru: dekarbonisasi yang mahal, ketegangan geopolitik, krisis pangan, perlambatan perdagangan.

Semua itu membuat pekerjaan Menteri Keuangan lebih mirip seni menata puzzle daripada ilmu menghitung pajak.

Dan di sini, pengalaman Purbaya sebagai perencana strategis bisa diuji: apakah ia mampu membaca gelombang yang lebih besar dari sekadar anggaran tahunan.

Mungkin kita bisa belajar dari sejarah. Pada awal 1980-an, Widjojo Nitisastro dan kawan-kawannya memilih menambatkan ekonomi pada pasar internasional, percaya bahwa disiplin fiskal adalah kunci.

Pada 1997, semua itu runtuh di hadapan krisis. Lalu generasi berikutnya, termasuk Sri Mulyani, mencoba memperbaiki puing-puing dengan “good governance”, dengan aturan yang lebih transparan.

Baca Juga  KPU Kendal Apresiasi Semua Pihak Menjaga Kondusifitas Keamanan Pilkada

Kini, dua dekade sesudahnya, pertanyaannya kembali muncul: Apakah formula lama masih cukup?

Purbaya masuk dalam sebuah kabinet yang disebut “Kabinet Merah Putih”.

Nama yang patriotik, tetapi tantangan yang dihadapi tetap duniawi: harga beras, subsidi energi, daya saing industri.

Ia bukan hanya harus berdebat dengan angka-angka, tapi juga dengan lobi politik, dengan kepentingan partai, dengan janji-janji kampanye.

Drama Politik

Di sini kita ingat: Menteri Keuangan bukanlah teknokrat netral yang bekerja di ruang hampa.

Ia selalu bagian dari sebuah drama politik. Sri Mulyani tahu itu ketika ia mundur pada 2010 di tengah tekanan kasus Bank Century.

Purbaya pun akan segera menyadari: keputusan fiskal selalu punya gema politik, sama seperti sebuah kebijakan subsidi bisa menumbangkan dukungan atau justru mengokohkan legitimasi.

Namun di luar semua itu, mungkin kita hanya bisa berharap ada kepekaan.

Bahwa ekonomi bukan sekadar target penerimaan pajak, bukan pula soal rating utang yang disukai investor asing.

Bahwa di balik angka pertumbuhan, ada wajah-wajah rapuh: buruh migran yang gajinya ditahan, nelayan yang terjebak cuaca, mahasiswa yang ragu membayar kuliah.

Kita tentu tak tahu apakah Purbaya akan memberi warna baru atau sekadar meneruskan garis lama.

Sejarah sering bergerak seperti itu: pergantian menteri hanya menghasilkan perubahan kecil, sementara struktur besar tetap membeku.

Baca Juga  AlertGigs Siap Ramaikan Langit Semarang: Pyong-Pyong hingga Sycho Wayne Tampil di Panggung Rooftop

Tetapi mungkin, di tengah ketidakpastian global dan domestik, perubahan kecil pun berharga.

Karena pada akhirnya, kita selalu menunggu sesuatu yang lebih dari sekadar angka di neraca keuangan negara.

Kita menunggu apakah seorang Menteri Keuangan bisa menghadirkan imajinasi: bahwa ekonomi bisa adil, bahwa fiskal bisa manusiawi, bahwa negeri ini bisa tumbuh tanpa meninggalkan yang lemah.

Dan barangkali, seperti dalam banyak catatan sejarah, yang tersisa hanya kalimat sederhana: selalu ada yang datang dan pergi.

Nama berganti, tanda tangan berubah. Tapi harapan, betapapun rapuh, tetap tinggal.

Gunoto Saparie, Fungsionaris ICMI (Iatan Cendekiawan Muslim Indonesia) Orwil Jawa Tengah.