MEMBACA KITAB GUNDUL DENGAN ASISTENSI AI, KETIKA MANUSIA BERHENTI INGIN MENGERTI
Ada huruf yang tumbuh tanpa suara. Ia berdiri tegak di halaman-halaman tua, hitam di atas kuning yang lusuh.
Tak ada harakat. Tak ada tanda panjang-pendek. Tak ada petunjuk ke mana makna harus dibaca.
Tetapi dari huruf-huruf itulah, hukum dibangun, hikmah ditarik, dan dunia dibuka.
Kita menyebutnya kitab gundul, kitab yang telanjang dari petunjuk vokal.
Ia tak menyembunyikan makna, tetapi juga tak mengatakannya dengan mudah.
Membacanya adalah pekerjaan tafsir. Sebab satu kata bisa berarti lima hal, dan satu ayat bisa menyusup ke banyak lorong pengertian.
Di pesantren-pesantren, para santri mengaji kitab ini dengan kepala sedikit tertunduk dan mata yang teliti.
Mereka mengaji sambil “nyolet”, mencoret pinggir teks dengan harakat kecil buatan tangan.
Itu bukan sekadar membaca, tapi juga menafsir, menguji, dan mengulang. Seperti berdialog dengan teks yang diam.
Lalu datanglah dia: AI (artificial intelligence, kecerdasan buatan). Mesin.
Dengan mata yang tak lelah dan ingatan yang tak terbatas. Mereka mencoba membacakan kitab yang diam itu. Bukan dengan iman, tetapi dengan machine learning.
Mereka tak mengaji, tetapi memodelkan. Bukan dari rasa hormat, namun dari statistik.
Bisakah AI membaca kitab gundul? Kita mungkin hidup di zaman ketika mesin tahu lebih banyak dari manusia, dan kadang, lebih menyebalkan lagi, mampu mengingat lebih rapi, lebih setia, lebih tak letih.
Maka muncul pertanyaan yang, dalam suasana pondok atau majelis pengajian tua di kaki gunung, mungkin akan terdengar agak lancang: apakah mesin akan bisa membaca kitab gundul? Barangkali bisa.
Mesin-mesin itu hari ini sudah mampu mengenali wajah dalam kerumunan, membedakan suara burung dari kebisingan kota, bahkan menyusun puisi dalam bahasa yang bukan ibunya.
Maka membaca teks berbahasa Arab tanpa harakat, walau penuh kemungkinan tafsir, bukanlah hal mustahil bagi mereka yang diberi cukup data.
Tetapi apakah cukup? Kitab kuning bukan hanya soal bacaan. Ia juga warisan cara berpikir.
Logika Syafi’i yang panjang, pertimbangan hukum yang berlapis, dan jeda kecil antara lahir dan batin.
Di sana, membaca bukan sekadar mengenali huruf, tapi menimbang makna.
Seperti membaca tatapan seseorang yang tidak tersenyum, namun juga tidak marah.
Mesin tak mengenal makna yang ditunda. Tetapi manusia hidup di dalamnya. Namun, bukan berarti AI tak berguna.
Mungkin ia bisa jadi santri yang setia, mengingat ribuan cara membaca, men cocokkan pola antara teks dan konteks.
Ia bisa membantu mereka yang baru belajar, mempercepat mereka yang sudah dalam, dan menolong mereka yang kehilangan.
Tetapi tetap saja, pada akhirnya, kitab itu akan kembali ke tangan manusia.
Sebab ada yang tak bisa diajarkan kepada mesin: adab membaca, pelan, dan dengan takzim.
Dan mungkin itu cukup. Barangkali di masa depan, kita akan mendengar suara baru yang membaca kitab gundul bukan dengan lidah manusia, namun dengan suara mesin yang terlatih.
Tetapi tafsir, seperti biasa, akan tetap menjadi wilayah sunyi antara teks dan hati.Kitab gundul.
Begitu sebutan sayang dan penuh frustrasi untuk teks-teks klasik Arab yang tanpa harakat, tanpa tanda baca, tanpa belas kasihan bagi pembaca yang lengah.
Ia seperti samudra, tenang di permukaan, namun menyimpan pusaran yang bisa menyeret siapa pun yang tak cukup mengenal kedalaman nahwu dan sharaf.
Kini, mesin belajar, sering disebut artificial intelligence, sebuah nama yang barangkali terdengar seperti ejekan bagi manusia: kecerdasan yang “buatan”, tetapi kian lama kian mengerti, kian lihai meniru.
Ia membaca dengan statistik, mengenal pola, dan mengoreksi dirinya sendiri dengan kecepatan yang bahkan guru ngaji paling sabar pun mungkin akan merasa tersaingi.
Di beberapa laboratorium, sudah ada model bahasa yang mampu menebak harakat sebuah teks Arab berdasarkan konteks.
Kata kerja? Kata benda? Fi’il madhi? Mudhari’? Marfu’? Majrur? Semua itu, konon, bisa didekati oleh algoritma.
Bahkan dalam beberapa uji coba, mesin dapat menyarankan harakat dengan akurasi yang mengesankan.
Kitab gundul pun mulai “berharakat”, setidaknya dalam layar monitor.
Lalu, apakah ini artinya manusia tak perlu lagi belajar nahwu dan sharaf?
Seperti juga kita tak harus belajar menulis karena sudah ada papan ketik?
Seperti kita tak harus mengingat puisi karena semuanya bisa dicari lewat mesin pencari?
Barangkali, memang, di masa depan kita tak perlu tahu perbedaan antara isim mu’rab dan mabni.
Kita tinggal mengetik teks kuning itu ke dalam layar, lalu menunggu mesin memberi versi lengkapnya, berharakat dan terang, seperti matahari siang hari.
Tetapi seperti puisi yang kehilangan getarnya bila hanya dibaca lewat mesin, ilmu pun kehilangan nadinya bila hanya dimengerti oleh logika statistik.
Nahwu dan sharaf bukan sekadar alat baca. Ia adalah warisan dari generasi yang belajar bersabar menafsir makna dari susunan kata.
Ia adalah ziarah ke dunia yang percaya bahwa bahasa bukan hanya alat komunikasi, namun juga tempat tinggal ruh.
Mesin bisa membaca kitab gundul, bisa jadi. Tetapi apakah ia bisa mengaji?Kita tahu, membaca dalam tradisi kita bukan sekadar menafsir fonem, melainkan membuka tirai makna.
Di pesantren, seorang santri tak hanya diajarkan mengenali fi’il dan fa’il.
Ia diajak merasakan, dalam diam yang panjang dan penuh pengulangan, bahwa bahasa itu hidup.
Kitab itu, meski gundul, punya denyut. Ia berbicara bukan hanya lewat tanda, tapi lewat keheningan yang perlu dipecahkan dengan sabar dan takzim.
Maka, ketika mesin sudah bisa membaca kitab gundul, mungkin bukan itu yang perlu kita khawatirkan.
Yang lebih layak ditakuti adalah ketika manusia berhenti ingin mengerti, karena merasa semuanya telah diwakilkan pada kecerdasan buatan.
Dalam dunia yang makin canggih, barangkali justru belajar nahwu dan sharaf adalah bentuk perlawanan paling puitis.
Bahwa kita masih ingin memahami, bukan sekadar mengetahui.
Dan mungkin, itu pula makna dari iqra’, perintah pertama yang turun: bukan sekadar membaca, tapi mengalami.
Gunoto Saparie adalah Ketua Umum Satupena Jawa Tengah