TAFSIR BARU IDUL ADHA: ALLAH TAK BUTUH DAGING ITU
Seekor domba pernah mengubah sejarah keyakinan manusia.
Tetapi bukan karena bulunya putih atau karena ia binatang yang jinak. Ia hadir sebagai penukar.
Penukar tubuh seorang anak, Ismail, yang konon telah diletakkan oleh ayahnya sendiri, Ibrahim, pada sebuah altar sunyi.
Kita tahu cerita itu. Kita ulang saban tahun. Kita percaya itu adalah ujian. Dan kita diajari, sejak kecil, bahwa di ujung ujian itu ada kurban.
Idul Adha pun datang setiap tahun, seperti yang telah berabad-abad terjadi. Ia membawa suara takbir dan bau anyir darah.
Di halaman masjid, di tanah lapang, dan di gang-gang kecil yang dulu sepi, orang berkumpul, menyaksikan kambing, sapi, kadang kerbau, disembelih dalam satu ritus yang disebut sebagai ibadah.
“Ini bukan sekadar potong hewan,” kata para ustaz. Ini bagian dari kisah Ibrahim.
MUI Versus Muhammadiyah
Majelis Ulama Indonesia (MUI) bahkan menganggap tak ada ruang untuk keraguan. Hewan, bagi mereka, bukan simbol.
Ia tubuh dari pengorbanan itu sendiri. “Tak bisa digantikan,” kata fatwanya.
Kurban adalah hewan, sebagaimana cerita Ibrahim adalah pedang yang nyaris melukai anak kandungnya.
Segala bentuk tafsir yang mencoba menyingkirkan tubuh hewan dari altar disebut sebagai penyimpangan.
Karena tubuh itu bukan sekadar daging: ia narasi. Dan narasi, bagi sebagian orang, adalah hukum.
Namun tafsir bukan benda mati. Tafsir adalah apa yang hidup dalam pikiran manusia yang terus bertanya.
Maka Muhammadiyah pernah membuat kejutan kecil: pada tahun 2020, ketika virus Covid-19 datang tak kenal masjid, PP Muhammadiyah mengumumkan bahwa kurban boleh diganti dengan sedekah. Sebagian marah.
Tapi sebagian lagi merasa lebih tenang. Tak ada kumpul-kumpul di tengah wabah, dan daging bisa berganti jadi beras, uang tunai, atau bantuan logistik.
Apakah makna kurban hilang? Tidak. Yang berubah hanyalah wujudnya.
Di titik inilah muncul suara yang lebih radikal, tapi bukan tanpa dasar. Seorang bernama Shahid Ali Muttaqi mengusulkan hal yang lebih jauh: bahwa esensi dari kurban bukanlah domba atau sapi.
Yang penting bukan darah yang menetes, tapi ketundukan yang mengalir dalam hati.
“Allah tak butuh daging itu,” katanya, mengutip surat Al-Hajj. Yang sampai pada-Nya adalah takwa.
Dalam pandangan ini, kurban adalah pengalaman batin. Sebuah momen ketika manusia diuji untuk mencintai kebenaran lebih dari darah dagingnya sendiri.
Maka kisah Ibrahim bukan tentang pisau, bukan tentang anak, bukan tentang kambing — melainkan tentang keberanian melepaskan.
Dalam tafsir ini, penyembelihan bukan tindakan fisik, melainkan spiritual.
Hewan adalah simbol yang kini bisa digantikan, karena manusia sudah bisa memahami maknanya tanpa harus menyaksikan hewan mati.
Tentu, bagi sebagian orang, tafsir seperti ini mengkhawatirkan. Agama terasa jadi terlalu lentur, terlalu bisa dinegosiasikan.
Tapi tidakkah sejarah agama sendiri adalah sejarah tafsir yang tak pernah selesai?
Bukankah yang kita sebut ritual selalu berubah, menyesuaikan zaman, cuaca, bahkan logistik?
Kita tak tahu apakah lima puluh tahun dari sekarang masih ada sapi yang disembelih di Idul Adha.
Tetapi mungkin kita akan melihat anak-anak berdiri dalam diam, mengingat bahwa ada seorang lelaki tua bernama Ibrahim yang dulu memutuskan: ketaatan lebih penting dari rasa memiliki.
Dan itu, mungkin, adalah kurban yang sejati.
Gunoto Saparie adalah Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Orwil Jawa Tengah