DILEMA PENDIDIKAN AGAMA INKLUSIF, MENDENGAR YANG TAK BERSUARA

Di sebuah sekolah negeri di sudut kota, seorang anak perempuan dengan jilbab biru muda duduk di bangku deret tengah.

Di sebelahnya, seorang anak laki-laki dari keluarga minoritas agama tengah sibuk mencatat.

Tak ada yang aneh, kecuali sesuatu yang tak kasat mata: ketegangan yang pelan-pelan tumbuh dari sistem yang hendak menyatukan keduanya dan puluhan anak lain dalam nama inklusi.

Pendidikan inklusif, kata pemerintah, adalah tentang kesetaraan.

Semua anak berhak atas pendidikan yang setara, tak peduli apakah ia berkebutuhan khusus, berasal dari suku yang jarang terdengar, atau menganut agama yang tak pernah masuk buku Pendidikan Agama di kelas.

Tetapi seperti banyak kata indah yang digantungkan tinggi-tinggi, “kesetaraan” kadang terasa seperti awan, terlihat jelas namun sukar dijangkau.

Di titik inilah dilema itu muncul: bagaimana sistem yang mengaku inklusif bisa sekaligus menjamin kebebasan beragama, yang kerap kali menuntut keistimewaan yang tak seragam? Mari kita tengok kurikulum.

loading...

Di banyak sekolah, pelajaran agama disampaikan berdasarkan mayoritas.

Di kelas-kelas, guru menyampaikan ajaran satu agama kepada seluruh siswa, atau memberi waktu tambahan bagi siswa minoritas untuk belajar sendiri.

Pilihan ini tampaknya kompromis, tapi dalam keheningan ruang kelas, ada rasa terpinggirkan yang tak terucap.

Bukankah inklusi sejati adalah ketika semua merasa menjadi bagian, bukan hanya diberi sudut untuk menepi? Lalu soal pembelajaran.

Guru, dalam kesehariannya, memegang peran seperti seorang konduktor orkestra. Tetapi bagaimana ia menyatukan nada dari begitu banyak instrumen, bila salah satu dilarang memainkan lagu yang dianggap asing?

Ada guru yang menolak memberi dispensasi bagi siswa yang harus beribadah di luar jam sekolah, menganggap itu “tidak adil” bagi siswa lain.

Tetapi bukankah keadilan bukan selalu tentang kesamaan, melainkan memberi sesuai kebutuhan? Di ruang makan, kantin menjadi cermin kecil dilema besar ini.

Baca Juga  Ratusan Warga Bener Gelar Istighosah Dukung Proyek Bendungan Bener

Apakah makanan halal satu-satunya pilihan? Bagaimana dengan mereka yang tak boleh makan daging sama sekali?

Fasilitas sekolah, yang disebut “inklusif,” sering kali sekadar berarti ram untuk kursi roda, bukan tempat doa kecil untuk mereka yang harus beribadah di waktu-waktu tertentu.Seolah inklusi hanya tentang tubuh, bukan keyakinan.

Jalan yang Tak Pernah Lurus

Tentu kita tak sedang berkata bahwa semua bisa dipuaskan. Tetapi bukan itu esensi pendidikan; mengajar untuk mendengar yang tak bersuara?

Inklusi, seperti demokrasi, bukan soal mencapai kata akhir, melainkan terus menerus mencari ruang untuk menyatukan perbedaan yang tak selalu bisa diselesaikan.

Kita tahu, jalan ke pendidikan yang adil tak pernah lurus. Tetapi selama kita masih bisa bertanya, masih bisa merasa gelisah akan anak yang terdiam di sudut kelas karena tak berani menunjukkan identitasnya, kita masih ada harapan.

Mungkin, seperti kata seorang penyair, “kesetaraan bukan tentang menjadi sama, melainkan merasa tak perlu bersembunyi.”

Undang-undang memang kerap seperti payung: dibuka ketika hujan, dilipat saat matahari terang. Tetapi tidak semua payung bisa menutupi semua orang.

Dan di negeri yang menjunjung semboyan Bhinneka, hujan kadang turun hanya di satu sisi sekolah.

Tahun 2003, negara ini memutuskan untuk mengakui pendidikan inklusif. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang telah dibicarakan dalam seminar-seminar,

disitir dalam makalah kampus, dan kadang dibacakan dalam sidang pengadilan, menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang bermutu, tanpa membedakan latar belakang agama, suku, ras, etnis, atau jenis kelamin.

Bahasa undang-undang memang selalu rapi. Tetapi sekolah tidak selalu begitu. Di ruang kelas, perbedaan bukan hanya angka dalam statistik.

Baca Juga  Pengusaha Stocpel Kesepakatan dengan Aparat Dan Warga Dilanggar, Aktivitas Diduga Ilegal Terus Berjalan

Ia adalah suara yang berbeda di ruang diskusi, adalah warna kulit yang tak muncul dalam buku cetak, adalah kepercayaan yang tak punya ruang ibadah di lingkungan sekolah.

Payung hukum telah terbuka. Tetapi siapa yang berdiri di bawahnya? Kebebasan beragama, misalnya, adalah hak yang dijamin konstitusi.

Dalam Pasal 28 E UUD 1945, hak untuk memeluk agama dijaga seperti pusaka. Tetapi dalam praktik pendidikan, ia bisa menjadi ganjalan.

Seorang siswa dari kelompok minoritas agama boleh jadi diberi waktu untuk ibadah, tapi teman-temannya mencibir, guru bingung, dan kepala sekolah menghindar.

Apakah sekolah, yang katanya inklusif, telah menyediakan ruang untuk kebebasan itu? Ataukah kebebasan itu hanya berlaku di atas kertas undang-undang?

Hukum Bukan Penjamin Keadilan kurikulum juga bicara dalam bahasa yang tampaknya netral, namun tak selalu adil.

Pendidikan Agama disampaikan dalam jalur paralel, sesuai agama masing-masing.

Tapi di daerah yang homogen, jalur itu sering buntu.

Siswa minoritas harus belajar sendiri, kadang tanpa guru, kadang tanpa teman. Seolah-olah keimanan mereka adalah anomali yang mesti disingkirkan dari sistem.

Dalam ruang pembelajaran, inklusi dipraktikkan dengan cara yang sering membingungkan: siswa dengan kebutuhan khusus disatukan dengan siswa reguler, tapi guru tidak dibekali pelatihan khusus.

Anak dari suku minoritas masuk kelas yang sama, tapi buku teks tak pernah menyebut sejarah leluhurnya.

Sementara anak yang beragama berbeda boleh hadir, tapi simbol-simbol agama mayoritas menjulang di tiap sudut dinding.

Ini bukan sekadar soal fasilitas, tapi soal makna hadirnya “yang lain” di dalam sistem yang terlalu lama merasa cukup dengan keseragaman.

Kita bisa saja berkata: sudah ada hukum yang mengatur semua ini. Namun, hukum bukan jaminan dari keadilan, hanya pintu masuknya.

Baca Juga  Tekan Penyebaran Covid-19, Peran Aktif Jogo Tonggo dan Kampung Siaga Candi Sangat Dibutuhkan

Yang kita butuhkan lebih dari sekadar payung. Kita butuh keberanian untuk menyeberangi hujan itu bersama-sama, tanpa saling meninggalkan.

Karena pendidikan inklusif bukan tentang menciptakan ruang netral, ruang steril dari identitas, tetapi ruang yang mengakui keberagaman sebagai kekayaan, bukan gangguan.

Dan hukum, betapapun tegaknya, tidak akan berarti jika tak dihidupkan oleh kesadaran kolektif.

Maka mungkin, pendidikan inklusif sejati bukan hanya terletak dalam pasal-pasal hukum, tapi dalam tindakan sederhana:

ketika seorang guru bertanya kepada muridnya, “Apa yang kamu yakini, dan bagaimana aku bisa membantumu belajar tanpa kehilangan keyakinan itu?”

Dan barangkali, dari pertanyaan semacam itu, sekolah bisa menjadi rumah bagi semua; bukan hanya tempat bagi yang paling umum.

Dan itu, barangkali, adalah tugas paling sunyi dari pendidikan inklusif: menciptakan ruang di mana tak seorang pun merasa harus menghapus sebagian dari dirinya agar bisa disebut setara.

Gunoto Saparie adalah Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Orwil Jawa Tengah