NASIKH’ DAN ‘MANSUKH’ DALAM AL-QURAN, BAGAIMANA WAHYU HADIR DI TENGAH SEJARAH YANG BERGERAK
Kadang, sebuah kata seperti “nasikh” datang seperti bisik: ada yang dihapus, ada yang datang menggantikannya.
Di dalam bahasa Arab, ia berasal dari kata “nasakh”: membatalkan, memindahkan, menyalin.
Seperti seorang juru tulis yang menghapus satu baris, lalu menulis baris baru di atasnya.
Dalam tata bahasa, “nasikh” adalah pelaku; “mansukh”, yang dikenai.
Dalam hukum agama, ia seperti dua gelombang yang datang bergantian; yang satu mendorong, yang lain menyingkir.
“Nasakh” memang berarti menghapus dan menyalin.
Di dalam kitab suci, ia berarti mengganti satu ayat dengan ayat lain.
Para ulama mempersoalkannya sejak lama. Sejarahnya memanjang, bahkan sebelum Nabi Muhammad SAW.
Ada syariat Nuh, Musa, dan para nabi lain, yang sebagian menghapus sebagian yang terdahulu.
Di masa Nabi Nuh, semua hewan halal. Di masa Musa, banyak yang diharamkan.
Di masa Adam, perkawinan antarsaudara diizinkan. Di masa berikutnya, tidak lagi.
Hukum berjalan seperti waktu: bergerak, kadang berganti arah.
Tetapi ketika persoalan itu sampai kepada Al-Quran, suara-suara terbelah.
Ada yang berkata: “Nasikh” dan “mansukh” itu nyata. Ada ayat yang menghapus ayat lain, ada hukum yang menggantikan hukum sebelumnya.
Q.S. Al-Baqarah:106 menjadi sandaran: apa yang dihapus Allah, diganti-Nya dengan yang lebih baik atau setara.
Mereka menyebutnya kebijaksanaan ilahi: Allah tahu kapan suatu perintah menjadi maslahat, dan kapan ia berubah menjadi mudarat.
Namun, ada pula yang menolak. Abu Muslim Al-Ashfahani, misalnya, berkata: tak ada ayat yang dihapus.
Yang terlihat bertentangan, bisa dijelaskan, ditakhshis. Jika ada ayat dihapus, berarti hukum Allah tidak teguh, dan itu tak mungkin.
Ia mengutip Q.S. Fushshilat:42: Kebatilan tak akan datang, dari depan atau belakang. Hukum Ilahi, katanya, tidak bermain-main.
Inti Perdebatan perdebatan itu menyentuh inti yang pelik:
Apakah perubahan berarti ketidaktahuan? Atau justru bukti kebijaksanaan?
Apakah ayat yang dihapuskan memang dihapus, atau hanya penerapannya yang berubah?
Namun, di antara ilmu yang wajib dimiliki seorang mufassir, kata Al-Suyuti, adalah “nasikh” dan “mansukh”.
Tanpa itu, seorang penafsir bisa keliru: menetapkan hukum dari ayat yang sebenarnya sudah diganti oleh ayat lain.
Ayatnya masih terbaca, tapi hukumnya telah lewat, seperti peraturan lama yang masih tercetak, tetapi tak lagi berlaku.
Masalahnya, menentukan ayat mana yang “dihapus” tak pernah sederhana. Definisi “nasakh” sendiri diperdebatkan.
Ada yang melihatnya sebagai penghapusan hukum, ada yang menolaknya sama sekali.
Pertanyaannya: Bagaimana jika dua ayat tampak bertentangan?
Sebagian memilih “me-nasakh” yang lebih awal, sebagian lain menganggap keduanya tetap berlaku.
Di masa para sahabat, jumlah ayat yang dianggap “mansukh” bisa mencapai 500.
Itu karena mereka memaknai “nasakh” secara luas: ayat umum yang kemudian dikhususkan pun masuk hitungan.
Di masa kemudian, makna itu menyempit. Jumlahnya berkurang: Ibn al-Jauzi menyebut 247; Ibn Hazm 210; Al-Nahhas 134; Al-Baghdadi 66; Al-Suyuti hanya 20; Al-Zarqani tujuh; Syah Waliyyullah Al-Dahlawi tinggal lima.
Perjalanan jumlah itu seperti kerucut yang makin tajam ke ujungnya. Dari ratusan, ke puluhan, ke hitungan jari.
Seakan sejarah belajar membedakan mana yang benar-benar hilang, mana yang hanya tampak hilang.
Namun, bahkan di ujungnya, masih ada pertanyaan:
Apakah “nasikh” itu selalu ayat?
Atau bisa juga hadis?
Dan apakah benar ada yang terhapus, atau kita hanya membaca dengan cara berbeda?
Mungkin, di situ, “nasikh” dan “mansukh” lebih mirip cermin: memperlihatkan bahwa hukum dan tafsir tak pernah beku.
Yang tetap hanyalah ayat-ayatnya. Yang berubah adalah cara manusia meng hidupkannya.
Al-Qurthubi, dari kejauhan sejarah, memberi jawaban yang lebih lentur: syariat datang untuk kemaslahatan manusia.
Dan kemaslahatan itu, seperti musim, tak selalu sama. Ayat tetap, tetapi cara ia hidup di tengah manusia itu yang berganti.
Perdebatan itu panjang: apakah ayat bisa menghapus ayat lain. Ada yang berkata ya. Hukum mengikuti musim dan maslahat.
Ada yang berkata tidak. Firman Allah tak berubah, yang berubah hanyalah pemahaman manusia.
Polemik ini bukan sekadar soal hukum. Ia menyentuh sesuatu yang lebih halus: bagaimana wahyu hadir di tengah sejarah yang bergerak.
Masyarakat Mekah tak sama dengan Madinah. Kaum badui berbeda dengan kaum kota.
Dan ayat turun menyapa mereka semua, dengan bahasa dan hukum yang sesuai.
Ujian Iman Jika ada yang berganti, itu bukan tanda kelemahan. Itu tanda perhatian.
Bahwa syariat tidak memahat manusia jadi patung, tetapi menemani mereka berjalan, menyesuaikan irama langkahnya.
Hikmahnya? Mungkin kita belajar bahwa agama bukan sekadar kumpulan pasal, melainkan napas yang mengalir di tubuh zaman.
Bahwa Allah, dalam kebijaksanaan-Nya, tidak membebani hamba di luar batas kemampuannya.
Polemik itu sendiri, pada akhirnya, menguji iman. Ia memaksa kita melihat bahwa kebenaran kadang hadir lewat perbedaan.
Dan di balik perbedaan, ada keyakinan yang sama: bahwa yang abadi bukanlah bentuk hukumnya, melainkan kasih sayang yang menjadi asalnya.
Di tengah perbedaan itu, ada yang memilih jalan tengah: ayat tetap, tetapi penerapannya bisa berubah.
Maslahat manusia, seperti musim, tak pernah diam. Mungkin di situ letak pelajarannya: yang kekal dan yang berganti bukanlah lawan, melainkan dua wajah dari waktu.
Mungkin, di sana, “nasikh” dan “mansukh” bukan sekadar soal hukum.
Ia adalah catatan bahwa yang tetap dan yang berubah, yang kekal dan yang fana, kadang berjalan beriringan.
Gunoto Saparie adalah Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Orwil Jawa Tengah