ANGKATAN PUISI ESAI: GELEMBUNG ATAU GELOMBANG ZAMAN?

Selalu ada keinginan manusia untuk merapikan dunia yang porak-poranda oleh waktu.

Maka sejarah pun diberi nama. Maka sastra pun diberi angkatan.

Kita sebut: Angkatan Balai Pustaka, Angkatan Pujangga Baru, Angkatan 45, Angkatan 66, Angkatan 2000, dan — di ujung yang masih panas dari perdebatan — Angkatan Puisi Esai.

Tentu, memberi nama kepada suatu masa adalah tindakan arbitrer, separuh kesadaran, separuh ilusi.

Tetapi seperti kota yang tak punya papan nama jalan, sejarah sastra tanpa periodisasi hanya akan membuat kita tersesat dalam hutan kata.

Angkatan, dalam sastra Indonesia modern, bukan semata penanda waktu.

Ia semacam barikade yang ditembus atau diruntuhkan oleh seseorang yang lebih dulu melangkah.

loading...

Kita ingat Marah Rusli, lelaki yang menulis Siti Nurbaya ketika lembaga kolonial — Balai Pustaka — masih mengatur napas para pengarang.

Lalu datang Amir Hamzah dan Sutan Takdir Alisjahbana dengan Pujangga Baru-nya, menyuntikkan modernitas dan romantisme.

Mereka bicara tentang “jiwa baru,” meski barangkali tidak pernah selesai membicarakan apa itu jiwa baru.

Badai Chairil Anwar

Chairil Anwar tiba sebagai badai. Tahun 1945 adalah tahun darah dan nyanyian, dan Chairil mengucapkan sajak-sajak seakan hidup akan padam esok hari.

Baca Juga  MANDATORY PROGRAM ANGKUTAN UMUM UNTUK REVISI UU LLAJ

“Aku mau hidup seribu tahun lagi,” katanya. Dan ia pun wafat di usia 27, seperti janji yang ditepati terlalu dini.

Lalu Angkatan 66, yang lahir dari pergolakan politik dan pengucilan.

Taufiq Ismail menjadi suara yang lantang — kadang terlalu lantang.

Dalam puisi-puisinya, kita temukan kemarahan yang jernih dan sebuah keberpihakan yang tak pernah ditutup-tutupi.

Sastra, pada masa itu, lebih dari sekadar estetika — ia adalah senjata.

Di milenium baru, nama Korrie Layun Rampan muncul sebagai deklarator Angkatan 2000.

Ia mencoba memberi tempat bagi para penulis muda di tengah gegap gempita reformasi dan internet yang mulai menyulut literasi digital.

Tetapi seperti gema yang tak selesai, Angkatan 2000 belum sepenuhnya menemukan karakternya.

Ia ada, tapi samar.Lalu kita tiba pada nama yang menimbulkan dengung sekaligus debat: Denny JA.

Ia memunculkan apa yang ia sebut sebagai puisi esai. Genre yang katanya menyatukan fiksi dan fakta, emosi dan data.

Baca Juga  Sosialisasi Pendaftaran Tanah Ulayat di Sumatera Barat, Menteri Nusron: Negara Hadir Lindungi Hak Masyarakat Hukum Adat

Ia hadir dengan formasi baru: puisi yang bercerita, panjang, bertema sosial, dan kadang lebih mirip laporan jurnalistik daripada lirisisme Chairil atau absurditas Sutardji.

Tentu, banyak yang mencibir. “Ini bukan puisi,” kata sebagian. “Ini propaganda dengan rima,” kata yang lain.

Tetapi toh, seperti halnya Chairil dulu juga dituduh mencemari bahasa, atau Sutardji Calzoum Bachri dituding merusak bentuk, puisi esai pun, suka tidak suka, telah membuat percikan dalam jagat sastra Indonesia.

Ia mengundang, ia menggoda, ia memancing amarah—dan bukankah itu semua adalah tanda bahwa ia hidup?

Yang menarik, Denny JA tak sekadar mencipta genre, ia juga membangun institusi.

Ia mendanai lomba, menerbitkan buku, menyebarkan karya ke internet. Ia tak hanya menulis puisi; ia menciptakan ekosistem.

Kontroversi pun seakan menjadi bagian dari strategi. Karena dalam zaman pasca-kebenaran, kadang yang paling nyaring adalah yang paling diingat.

Tetapi apakah itu cukup untuk disebut “angkatan”? Apakah puisi esai adalah gelombang, atau hanya gelembung?

Periodisasi sastra, pada akhirnya, adalah upaya manusia memberi makna pada keragaman suara.

Baca Juga  DPC GRIB Kota Semarang Bagikan 3.500 Takjil di Kawasan Kota Lama

Ia tidak sakral, tidak mutlak. Tapi dari sana, kita belajar mengenal zaman lewat kata.

Kita tahu bagaimana dunia dilihat oleh Chairil, oleh Amir, oleh Taufiq, oleh Korrie, oleh Denny JA.

Dan mungkin, yang paling penting dari semua itu, adalah kita tahu bahwa puisi, juga puisi esai, belum mati.

Gunoto Saparie adalah Ketua Umum Satupena Jawa Tengah.

Tinggal di Semarang