PERSPEKTIF GENDER DALAM KESENIAN

Sampai hari ini, harus diakui, kesetaraan gender masih terabaikan dalam kesenian di Indonesia.

Lihatlah, bagaimana pada setiap peringatan Hari Kartini dan Hari Ibu, para perempuan memang banyak terlibat, bahkan ada kegiatan kesenian yang pesertanya seluruhnya para seniwati.

Misalnya, dalam pameran seni rupa semua perupanya perempuan, pembacaan puisi oleh para penyair perempuan, festival dalang perempuan, lomba menyanyi oleh para perempuan, dan sebagainya.

Akan tetapi, agaknya kita belum pernah serius mempertanyakan tentang kesadaran gender dan pelibatan perempuan dalam kegiatan kesenian.

Perempuan kurang diperhitungkan untuk berperan dalam kegiatan kesenian. Para perempuan sering dianggap tidak layak menduduki posisi pemimpin dalam organisasi kesenian.

Perempuan dianggap kurang professional dalam memimpin dan memotori suatu kegiatan kesenian.

Pandangan seksisme yang memarginalkan perempuan seperti itu dianggap sebagai suatu hal yang biasa.

loading...

Padahal bukan tidak mungkin sesungguhnya perempuan itu memiliki kemampuan atau kapasitas yang lebih dibandingkan laki-laki.

\Ketimpangan keterwakilan perempuan dalam dewan kesenian, akademisi, dan kelompok-kelompok seni juga banyak terjadi.

Posisi para seniman perempuan sering terabaikan dan terpinggirkan.

Perempuan sering diberi peran “domestik”, misalnya di bagian konsumsi dan penerima tamu.

Tidak hanya para perempuan sering tertekan dan terkekang dalam proses berkarya.

Baca Juga  Kepala Desa Cepiring: Evaluasi Kinerja Masing-Masing Kegiatan Merupakan Bagian Transparansi

Tidak hanya di lembaga dan komunitas kesenian, tetapi juga di lembaga pendidikan seni.

Mereka sering diposisikan tidak merasa nyaman.Memang, ekosistem kesenian di republik ini masih didominasi budaya patriarki dan seksisme.

Oleh karena itu, ekosistem seni berperspektif gender masih perlu terus dibangun.

Ketimpangan gender dan perempuan dalam mendapatkan hak berkesenian secara bebas masih sering terjadi.

Perbedaan gender seharusnya tidaklah menjadi masalah karena hal itu merupakan keniscayaan.

Akan tetapi, ia menjadi masalah karena hal itu melahirkan ketidakadilan gender. Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur di mana kaum perempuan menjadi korban dari sistem tersebut.

Gender adalah sebuah sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun kaum perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun budaya.

Ketidakadilan gender termanisfestasikan ke dalam berbagai bentuk ketidakadilan, misalnya marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan stereotipe atau melalui pelabelan negatif, kekerasan, beban kerja lebih panjang dan lebih banyak, serta sosialisasi ideologi peran gender.

Manifestasi ketidakadilan gender tidak bisa dipisah-pisahkan, karena saling berkaitan dan berhubungan, dan saling memengaruhi secara dialektis.

Ada beberapa perbedaan jenis dan bentuk, tempat dan waktu serta mekanisme proses marginalisasi kaum perempuan karena perbedaan gender tersebut.

Baca Juga  Pemkab Kendal Umumkan Kenaikan 6,5 Persen UMKM tahun 2025

Dari segi sumbernya bisa berasal dari kebijaksanaan pemerintah, keyakinan, tafsir agama, tradisi, dan kebiasaan atau bahkan asumsi ilmu pengetahuan.

Marginalisasi kaum perempuan tidak hanya terjadi di tempat pekerjaan, juga terjadi dalam rumah tangga, kultur bahkan negara.

Marginalisasi sudah terjadi sejak di rumah tangga dalam bentuk diskriminasi atas anggota keluarga yang laki-laki dan perempuan.

Marginalisasi juga diperkuat oleh adat-istiadat maupun tafsir keagamaan.

Pandangan gender ternyata dapat menimbulkan subordinasi terhadap perempuan.

Anggapan bahwa perempuan itu irasional ataupun emosional sehingga perempuan tidak bisa tampil memimpin, berakibat muncul sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting.

Subordinasi karena gender tersebut terjadi dalam segala macam bentuk yang berbeda dari tempat ke tempat dan waktu ke waktu.

Dalam kesenian peran perempuan hanya dibatasi pada posisi tertentu, misalnya hanya berperan sebagai pesinden (penyanyi).

Sangat jarang ditemukan perempuan memainkan alat musik. Kajian tentang gender memang tidak bisa dilepaskan dari kajian teologis, karena hampir semua agama mempunyai ajaran dan perlakuan khusus terhadap kaum perempuan.

Perempuan selalu ditempatkan dalam posisi di belakang laki-laki baik dalam acara ritual keagamaan maupun ranah sosial.

Yang sering diprotes oleh kalangan perempuan adalah ketika kaum laki-laki menggunakan dalil keagamaan untuk Kesetaraan gender masih merupakan hal yang sangat sensitif di kalangan masyarakat.

Baca Juga  Komisi B Dorong Replikasi Pelestarian Budaya Yogya ke Jateng

Hal ini karena perempuan masih memiliki peran dan kesempatan yang terbatas dibandingkan dengan laki-laki, baik dalam keaktifan di sosial kemasyarakatan, ekonomi, sosial budaya, kelembagaan maupun di organisasi kesenian.

Keterbatasan dalam berbagai nilai dan norma dalam masyarakat membuat kaum perempuan memiliki keterbatasan/ruang dibandingkan dengan yang dimiliki kaum laki-laki.

Gunoto Saparie

Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT)