MEMBACA KEMBLI AHMAD WAHIB dan KELAHIRAN ISLAM LIBERAL
Orang-orang yang gelisah sering dituduh sesat. Ia bukan karena salah jalan, tetapi karena tidak mau berjalan seperti yang lain.
Ahmad Wahib (9 November 1942 – 31 Maret 1973) adalah salah satu dari mereka. Ia tidak duduk diam di majelis. Ia berdiri dan bertanya.
Dan dengan itu, ia dicurigai.Wahib mencatat kegelisahannya dalam buku harian. Ia tidak berorasi, tidak membentuk partai, tidak membakar poster atau menggugat dari podium.
Ia hanya menulis. Tetapi dari catatan hariannya yang bersahaja itu, yang terbit jauh setelah kematiannya akibat kecelakaan lalu lintas, kita tahu bahwa Islam bisa dirasakan dengan cara yang mengguncang.
Bukan hanya sebagai ajaran, tetapi juga sebagai pergulatan.
Catatan Harian Ahmad Wahib itu sendiri terbit tahun 1981 oleh LP3ES Jakarta atas inisiasi Ismet Natsir dan Djohan Efendi, serta disunting oleh Mukti Ali (Menteri Agama tahun 1971-1978).
Wahib menyebut Allah, tetapi ia juga menyebut ketakutannya sendiri. Ia membaca Al-Quran, namun ia juga membaca zaman.
Wahib, dengan segala keberaniannya, mempertanyakan cara kita memeluk agama.
Ia mempertanyakan mengapa tafsir agama selalu terasa kaku, mengapa orang-orang beriman begitu takut pada perubahan, mengapa keimanan menjadi penjara dan bukan jendela.
Di sanalah gagasan Islam Liberal yang sering disalahpahami itu lahir. Bukan untuk membebaskan diri dari agama, tetapi untuk membebaskan agama dari kungkungan tafsir yang menolak tumbuh.
Ia bukan hendak mengganti Al-Quran dan Hadits dengan akal semata, melainkan ingin keduanya hidup di dalam ruang pikir yang lebih luas, lebih manusiawi.
Sebab, bukankah keduanya memang datang untuk manusia?
Tafsir dan Konteks
Saya kira Wahib paham satu hal yang kerap dilupakan: bahwa kebenaran bukan monolit. Bahwa di balik setiap hukum fikih, ada sejarah; di balik setiap tafsir, ada konteks.
Dan bahwa iman yang sehat bukanlah iman yang takut berbeda.Maka ijtihad, yang kini seolah menjadi kata museum, bagi Wahib adalah napas utama Islam.
Tanpa ijtihad, agama ini akan menjadi tumpukan dalil tanpa daya hidup. Tanpa keberanian menafsir ulang, Al-Quran bisa jadi sekadar mantra, bukan cahaya.
Tetapi ia tahu risikonya. Ia tahu bahwa menjadi merdeka dalam berpikir adalah jalan sunyi.
Ia menulis: “Aku takut menjadi fanatik. Fanatisme membuat orang buta.” Ia tidak membenci mereka yang berbeda. Tetapi ia sedih pada mereka yang menolak membuka diri.
Di tengah gempuran modernitas, Wahib tak ingin agama menjadi fosil. Ia ingin Islam bisa bicara pada dunia, bukan berteriak kepadanya.
Ia ingin agama menjadi etika sosial yang berpihak pada yang tertindas, bukan sekadar perangkat hukum yang mengadili tanpa ampun.
Dalam dunia yang terus berubah, Wahib tahu bahwa teks suci harus terus ditafsir ulang agar tetap hidup.
Sebab jika tidak, yang suci hanya akan menjadi sakral dan yang sakral seringkali tidak bisa disentuh, bahkan oleh akal.
Di sinilah letak radikalitas Wahib. Ia tidak sekadar meminta tafsir baru. Ia meminta cara baru untuk beragama, yang membuka ruang bagi keraguan, empati, dan keberanian berpikir.
Ia tahu bahwa iman yang besar bukan iman yang menolak pertanyaan, namun iman yang mampu merangkulnya.
Pencarian Makna Agama
Kita hidup di zaman di mana teknologi menggandakan informasi lebih cepat daripada kita sempat memahaminya.
Dalam dunia seperti itu, kebenaran yang absolut sering tampak mencurigakan.
Dan barangkali di sinilah warisan Ahmad Wahib menjadi penting lagi.
Ia mengajarkan bahwa agama tidak kehilangan kesuciannya hanya karena kita berani bertanya.
Sebaliknya, ia menjadi suci karena kita terus mencari maknanya. Dan karena itu, Islam tidak akan maju dengan memusuhi liberalisasi pikiran, melainkan dengan menjadikannya sebagai jalan baru untuk mengenal Tuhan.
Islam yang membuka jendela.Ahmad Wahib tidak pernah menganggap dirinya sebagai nabi.
Ia hanya seorang pemuda yang menulis di malam hari, di kamar kecilnya, dengan sepi yang panjang.
Tetapi mungkin, justru dari sepi itulah kita bisa mendengar suara paling jujur dari iman: suara yang bertanya, namun tak pernah lari dari cinta.
Gunoto Saparie adalah Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Orwil Jawa Tengah