DENGAN NADHOM KITA BELAJAR
Di suatu sore, di bawah kubah langit kelabu yang menua pelan, seorang anak kecil di sebuah pesantren Tlahab Kendal melagukan bait-bait nadhom.
Suaranya belum fasih, tetapi ada getar yang menyentuh. Sebaris-sebaris lamat-lamat menyusup ke udara, seolah menjadi doa yang terselip di antara debu dan angin.
Barangkali, pada saat seperti itu, kita mengerti bahwa nadhom bukan sekadar hafalan atau pelajaran agama yang harus dikuasai, melainkan cara umat Islam Nusantara menghidupkan agama dalam tubuh keseharian.
Nadhom telah hidup lama dalam tubuh tradisi Islam di Asia Tenggara.
Ia bukan datang dari ruang kelas, tetapi dari langgar-langgar kecil, dari teras musala atau serambi masjid, dari kamar sederhana para santri, dari lidah para ibu yang menyanyikannya sebelum anak tidur.
Ia bagian dari cara mengingat, cara menanamkan. Sebuah peradaban yang tidak ditanam dengan buku tebal, tetapi dengan nyanyian.
Dan seperti yang kita tahu, nyanyian lebih lama hidup dalam tubuh manusia daripada sekadar bacaan.
Islam datang ke Nusantara tidak dengan pedang, melainkan dengan kata.
Dan nadhom adalah bentuk kata yang paling lunak, namun paling lekat. Ia tidak memaksa, tapi mengalun.
Di dalamnya ada tauhid, ada fikih, ada adab. Ada cinta, ada takut, ada rindu dendam.
Ia memadukan ilmu dan rasa, hal yang sering kali tercerai dalam pendidikan modern.
Sebab dalam nadhom, orang tidak hanya menghafal hukum-hukum wudhu, rukun Islam, atau rukun iman, tetapi juga menanamkannya dalam nada dan irama yang tak lekas hilang.
Belajar adalah Ibadah
Dari kitab-kitab klasik berbahasa Arab seperti Tuhfatul Athfal, Jurumiyah, hingga syair-syair tasawuf yang melambai-lambai seperti Burdah atau Barzanji, semua dibaca dalam bentuk nadhoman.
Santri menghafalnya, tetapi tidak dengan keras kepala.
Mereka melagukannya, dan dalam lagu itu ilmu menjadi hangat, tidak membeku dalam istilah dan definisi. Bahkan, mereka menyebutnya “pemujian”, seakan menyiratkan bahwa belajar pun adalah bentuk dari ibadah.
Kadang kita lupa, bahwa sebelum ada sistem kelas, silabus, dan ujian, umat Islam Nusantara telah membangun cara belajar mereka sendiri.
Mereka menyanyikan ilmu, mendendangkan akhlak. Dari pesantren Jawa hingga surau di Minangkabau, dari Aceh sampai Pattani, nadhom menjadi jembatan antara teks dan konteks.
Ia menjadikan bahasa Arab yang asing terasa seperti milik sendiri. Itulah mengapa, dalam nadhom, lidah Melayu bisa menari dengan lincah di atas lafal Arab, tanpa merasa sedang meminjam bahasa.
Barangkali karena itu pula, nadhom tidak pernah benar-benar tua. Ia diwariskan bukan lewat arsip, melainkan lewat suara.
Suara guru ke murid, suara ibu ke anak, suara kiai ke jamaah. Ia tidak mati karena tidak dibukukan, justru karena terus dilafalkan.
Dan di sinilah letak keunikannya: nadhom adalah pengetahuan yang tumbuh dalam ingatan kolektif, bukan dalam catatan kaki.
Zaman pun berganti. Sekolah-sekolah kini mengajarkan agama dalam bentuk powerpoint dan soal pilihan ganda.
Tetapi di banyak tempat, nadhom masih terdengar, meski samar. Di desa-desa, saat adzan maghrib berkumandang, masih ada suara anak kecil yang membaca nadhoman sebagai pengantar belajar.
Mungkin mereka belum paham maknanya seluruhnya. Namun, nada yang mereka lantunkan telah membawa semacam rasa: bahwa ilmu agama bukan beban, tetapi justru merupakan pelita.
Dan pelita, seperti kita tahu, tidak selalu besar. Kadang ia cuma sebaris syair yang diucapkan dengan hati yang bersih.
Gunoto Saparie adalah Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Orwil Jawa Tengah