DI BALIK SEHELAI JILBAB, ISLAM MENGHARGAI NALAR

Pada suatu siang yang tenang di sebuah perpustakaan, saya membuka-buka lembaran tafsir tua karya Muhammad Abduh.

Di sana, dalam bahasa Arab yang sesekali terasa seperti berbisik pada abad ke-21, tertulis sesuatu yang sejak lama ingin saya tanyakan:

Apakah perempuan dalam Islam benar-benar merdeka?Pertanyaan ini tentu bukan baru kemarin sore.

Kartini pernah menanyakannya, meskipun ia bukan mufasir.

Ia menuliskan kekecewaannya tentang tafsir agama yang menutup ruang geraknya. Tetapi ia tidak menyalahkan agama.

Ia menyalahkan mereka yang menafsirkan agama demi kepentingannya.

Dalam surat-suratnya kepada Abendanon, Islam yang dipeluknya adalah Islam yang terang, yang adil, dan yang menghargai nalar.

loading...

Muhammad Abduh, tokoh pembaru Mesir awal abad ke-20, menulis dengan semangat yang sama.

Ia percaya bahwa Islam pada hakikatnya adalah agama yang membebaskan.

Ia menolak kekangan terhadap perempuan yang hanya berdasar pada tradisi, bukan teks suci.

Dalam pandangannya, peran perempuan di ruang publik bukanlah bid’ah, melainkan bagian dari visi awal Islam yang datang untuk memuliakan mereka.

Tetapi Abduh tidak sendiri. Ada Rifa’ah al-Tahtawi, yang pada abad ke-19 menulis dengan penuh kekaguman tentang perempuan Prancis yang terdidik dan bebas berjalan di jalanan.

Bukan karena ia ingin Islam menyerupai Barat, tetapi karena ia melihat dalam kebebasan itu sesuatu yang hilang dari negerinya sendiri, sesuatu yang dulu dibawa oleh wahyu pertama: Iqra’.

Di Indonesia, nama-nama seperti Nurcholish Madjid dan Gus Dur tidak bisa diabaikan. Mereka membuka ruang baru dalam berpikir, meyakini bahwa Islam tidak bertentangan dengan demokrasi, termasuk demokrasi gender.

Gus Dur, dengan caranya yang tenang dan jenaka, pernah berkata bahwa banyak tafsir agama yang lebih dekat pada budaya patriarki daripada pada pesan Al-Qur’an.

Ia membela hak perempuan untuk menjadi pemimpin, bukan karena tuntutan zaman, tetapi karena tuntutan keadilan.

Adat Versus Wahyu

Namun, seperti semua hal yang menyentuh kekuasaan, emansipasi perempuan dalam Islam tidak berjalan di jalan yang lurus dan sunyi.

Baca Juga  Gelar Simulasi Pencoblosan Pemilu 2024,Ini Harapan KPU Kendal

Ia harus menyusuri lorong-lorong sempit penuh prasangka. Dalam banyak masyarakat Muslim, perempuan masih dipandang sebagai makhluk kedua.

Bahkan ketika Al-Qur’an berkata bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan dari nafs yang satu, satu jiwa yang sama, tafsirnya tak selalu mengikuti kalimat itu.

Terkadang, tafsir lebih setia pada adat daripada pada wahyu.Tantangan terbesar hari ini mungkin bukan pada nash, tetapi pada kebiasaan yang mengakar.

Perempuan yang memilih pendidikan tinggi dianggap melampaui kodratnya. Yang bekerja dianggap menantang suami. Yang memimpin dianggap keluar dari fitrah.

Dan ironisnya, semua itu kerap dibungkus dengan ayat-ayat dan hadis-hadis yang dicabut dari konteksnya.

Padahal, sejarah mencatat perempuan-perempuan kuat dalam Islam: Khadijah yang saudagar, Aisyah yang ulama, Nusaybah yang pejuang.

Tetapi sejarah sering ditulis oleh mereka yang takut pada perempuan yang berpikir.

Hari ini, emansipasi perempuan dalam Islam bukan lagi soal apakah perempuan boleh sekolah atau bekerja.

Pertanyaannya lebih rumit: Bolehkah ia berpikir bebas? Bolehkah ia membaca teks suci dan menafsirkan sendiri? Bolehkah ia menjadi subjek dalam agamanya, bukan hanya objek yang diatur?

Kita hidup dalam zaman di mana jilbab bisa berarti perlawanan, atau justru penyerahan.

Di mana suara perempuan bisa dibungkam dengan dalil, atau justru dikuatkan olehnya.

Dan mungkin, seperti yang pernah ditulis Goenawan Mohamad: tafsir bukan hanya tentang teks, tetapi juga tentang siapa yang membacanya, dengan hati yang bagaimana.

Maka, barangkali, emansipasi dalam Islam bukan soal menjadi laki-laki, tetapi soal menjadi manusia seutuhnya.

Tanpa takut, tanpa ragu, dan tanpa meminta izin pada sistem yang telah lama lupa pada keadilan.

Bagaimana Fikih Terbentuk

Saya membayangkan, pada suatu sore yang tua di Aleppo ada seorang perempuan berjalan menyusuri lorong-lorong madrasah.

Ia tidak masuk. Ia hanya berdiri di gerbang. Di seberangnya, di dalam ruang belajar yang harum oleh tinta dan kata, para lelaki membaca kitab.

Baca Juga  Komisi B Dorong Replikasi Pelestarian Budaya Yogya ke Jateng

Mereka menyebut nama-nama besar: Syafi’i, Hanafi, Malik, Ahmad. Mereka membicarakan Perempuan, tetapi perempuan itu sendiri tak berbicara.

Begitulah fikih terbentuk: bukan dari pengalaman tubuh perempuan, melainkan dari pengetahuan tentang tubuh itu, sebagaimana lelaki mengamatinya. Dari kejauhan.

Dalam sejarah panjang Islam, fikih tumbuh sebagai upaya luhur menjawab soal-soal hidup dengan norma Tuhan.

Tetapi seperti semua yang luhur, ia tidak luput dari kemungkinan cacat: waktu, tempat, dan cara pandang.

Fikih bukan wahyu, meskipun bersandar padanya. Ia tafsir. Dan tafsir, seperti yang kita tahu, punya warna dari mata sang penafsir.

Bias itu menyelinap dalam bahasa. Misalnya dalam soal waris, atau kesaksian di pengadilan.

Seorang perempuan dihitung setengah suara dibanding lelaki. Penjelasannya rumit, konon karena beban emosional perempuan lebih besar, atau karena mereka jarang berurusan dengan hal-hal rasional seperti jual-beli.

Tetapi siapa yang menetapkan ukuran emosi dan rasio? Dan siapa pula yang berkata bahwa pasar bukan urusan perempuan?

Saya teringat pada Amina Wadud. Ia pernah berkata: “Bukan Islam yang bias gender, tapi pembacaan atas Islam.” Ia mengimami salat Jumat di New York, dan dunia geger.

Tetapi mungkin bukan karena ia melanggar fikih, melainkan karena ia menantang imajinasi lama tentang siapa yang boleh bersuara lantang di ruang suci.

Fikih klasik jarang menampung suara perempuan, karena memang jarang ada perempuan yang diberi ruang menjadi mujtahid.

Kecuali sedikit: Rabi’ah al-Adawiyah, Syuhrah dari Andalusia, atau Sitt al-Mulk. Tetapi nama-nama itu seperti gemintang di langit yang terlalu luas dan terlalu sunyi.

Tentu, kita tak bisa begitu saja membuang warisan fikih. Ia menyimpan kearifan, bahkan dalam kekakuannya.

Tetapi seperti kata Nietzsche: “Tradisi bukan untuk dipeluk, melainkan untuk diuji.”

Baca Juga  DPR RI Fadholi Soroti Pendangkalan Sungai Di Kendal, Salah Satunya Kali Damar Bendungan Timbang-Weleri

Sebab agama bukan hanya apa yang diwariskan, tetapi juga apa yang dihidupi.

Dan hidup terus berubah. Perempuan kini duduk di parlemen, memimpin negara, merumuskan hukum, namun mengapakah fikih harus tetap diam? Ada yang berkata: fikih tak bias, hanya mencerminkan realitas zamannya.

Tetapi kalau begitu, mengapa kita tidak menciptakan fikih baru untuk zaman yang baru pula? Fikih yang lahir bukan dari asumsi tentang perempuan, tetapi dari percakapan dengan mereka.

Sebab perempuan bukan subjek hukum semata. Mereka juga pembentuknya.

Di akhir hari, saya kembali ke bayangan perempuan di Aleppo. Mungkin ia telah masuk ke madrasah itu kini.

Mungkin ia sudah membuka kitab-kitab lama dan menulis catatan kecil di pinggir halaman.

Mungkin di situ tertulis: “Ini bukan tentang menjadi setara, tetapi tentang didengar.” Dan dalam kesunyian itu, suara baru pun lahir.

Dan di balik sehelai jilbab yang tertiup angin, kita mungkin melihatnya: wajah masa depan yang pelan-pelan, tetapi pasti, sedang ditulis ulang. Oleh perempuan. Dalam bahasa mereka sendiri.

Gunoto Saparie adalah Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Orwil Jawa Tengah