NAHDLATUL ULAMA DAN POLITIK, PILIHAN YANG TAK PERNAH FINAL
Ada sebuah kata yang sering kita ucapkan, tetapi jarang kita renungkan dalam keheningan: nasionalisme.
Kata itu lahir dari sebuah luka sejarah, tetapi juga dari sebuah harapan. Ia bukan sekadar ideologi yang bisa kita hafalkan di bangku sekolah.
Ia lebih mirip sebuah pencarian, upaya menemukan jati diri, yang tak pernah selesai.
Dalam sejarah Indonesia, kata ini memang melintas dari satu zaman ke zaman lain.
Ia menyeberangi masa kolonial, menembus masa pergerakan, bernegosiasi dengan kemerdekaan, lalu terseret ke dalam pusaran politik praktis.
Kadang ia mengeras jadi slogan, kadang ia melembut jadi doa.
NU (Nahdlatul Ulama), organisasi yang lahir dari denyut jantung pesantren, ikut mengalaminya.
NU tidak dilahirkan sebagai partai politik, tetapi tak pernah bisa jauh dari politik.
Seperti sebuah sungai besar yang menolak dipaksa mengalir lurus, ia senantiasa berkelok, menyapa kampung-kampung, dan memeluk sawah-sawah rakyat.
Di zaman Soekarno, NU berhadapan dengan Nasakom.
Pilihan menjadi sulit: ikut arus berarti dicap antek komunis, menolak berarti kehilangan pengaruh.
Di zaman Soeharto, politik disederhanakan, dan NU membiarkan warganya berlabuh ke Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Lalu, ketika reformasi membuka pintu-pintu baru, NU melahirkan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Semua itu menunjukkan satu hal: pilihan politik bagi NU tidak pernah qath’i, tidak pernah final.
Politik Kebangsaan Yang final, justru sesuatu yang lebih besar dari sekadar partai: komitmen kebangsaan.
K.H. Abdul Muchith Muzadi menyebutnya politik kebangsaan.
Sebuah gagasan yang tak berhenti di meja perundingan atau kursi kekuasaan, melainkan berangkat dari keyakinan bahwa Islam dan Pancasila saling berkelindan.
Pancasila bukanlah tandingan Islam, melainkan ruang tempat nilai-nilai Islam bernapas tanpa harus menguasai.
Dalam pengertian ini, nasionalisme tidak menjadi pengganti iman, tetapi pagar yang melindungi agar iman bisa tumbuh dalam kebebasan.
Kita tahu, dalam sejarah Islam, khilafah pernah tegak.
Tetapi Muchith Muzadi mengingatkan: bentuk negara tidaklah esensial. Esensi ada pada nilai.
Negara yang adil, yang menegakkan kesetaraan, yang menjunjung kebebasan, itulah negara Islami, meski bernama republik, meski berlandaskan Pancasila.
Barangkali di sinilah NU memainkan perannya yang unik.
Dengan empat prinsip aswaja: tawassut (moderat), tasamuh (toleran), tawazun (seimbang), dan i’tidal (adil), NU menolak ekstremitas.
Tidak ikut dalam arus keras, tidak juga hanyut dalam kepatuhan membuta.
Prinsip ini bukan sekadar etika, tetapi strategi bertahan di tengah pluralisme Indonesia.
Namun, zaman kini berbeda. Ancaman terhadap kebangsaan datang tidak hanya dari kolonialisme lama, melainkan dari fundamentalisme baru, yang ingin mengganti Pancasila dengan khilafah, yang ingin menjadikan agama sebagai entitas kekuasaan.
Juga dari globalisasi, yang merayakan keseragaman, sambil mengikis keunikan lokal.Maka nasionalisme, dalam wajahnya yang paling otentik, bukanlah jeritan kosong tentang tanah air.
Ia adalah kesediaan untuk terus merawat perbedaan, tanpa merasa kehilangan identitas.
Ia adalah kemampuan untuk hidup dalam pluralitas tanpa harus menutup diri.
Politik Nilai
Muchith Muzadi pernah mengatakan, politik kebangsaan adalah politik nilai.
Ia bukan politik yang sibuk memburu kursi, melainkan politik yang bertanya: apakah bangsa ini adil?
Apakah ia memberi ruang pada setiap warganya untuk hidup bermartabat?
Apakah ia menjaga keutuhan tanpa memaksakan keseragaman?
Ada yang selalu kembali dari sejarah: Indonesia lahir bukan dari satu suara, melainkan dari ribuan lidah yang berdebat, dari tangan-tangan yang berbeda warna dan arah, lalu berhimpun di meja yang sama.
Di situlah NKRI ditempa, sebagai konsensus. Muzadi pernah mengingatkan, konsensus itu bukanlah sekadar formalitas, melainkan kesadaran bahwa kaum muslimin, termasuk warga Nahdliyin, telah menaruh tanda tangannya di atasnya.
Karena itu, menjaga Indonesia adalah bagian dari iman politik mereka.
Politik kebangsaan NU tidak pernah berarti menutup pintu bagi politik itu sendiri.
Politik, bagi NU, bukan tabu; ia justru dimaknai sebagai ruang untuk berkhidmat.
Tetapi, sebagaimana ditegaskan Muchith Muzadi, politik yang mengutamakan kelompok, dan melupakan bangsa, adalah jalan buntu.
Ia bisa menjerumuskan pada keretakan yang tak lagi bisa dijahit.
Sejarah memperlihatkan, banyak yang tergoda menjadikan agama sebagai bendera negara.
Padahal, seperti diingatkan NU, agama kehilangan daya religinya begitu ia dikurung dalam pagar formal.
Sebuah perda bernuansa syariat mungkin lahir dari niat baik, tapi bisa saja berujung pada represi, bahkan hipokrisi.
Kepatuhan hanya jadi topeng, bukan kesadaran.NU memilih jalan lain: bukan menjadikan agama sebagai perangkat hukum, melainkan sebagai sumber moral.
Dari situlah, agama tetap hidup, tak terseret lumpur kekuasaan, tak menjadi alat tukar di pasar politik.
Tetapi, problem kebangsaan tidak hanya datang dari sana. Separatisme masih mengintai di berbagai wilayah.
Papua, misalnya, tak bisa didekati dengan logika senjata. NU mengajukan cara lain: dialog, akomodasi, kesediaan mendengar.
Karena bangsa ini tidak pernah satu warna.Politik kebangsaan, pada akhirnya, harus disusun dari kesediaan menerima perbedaan.
Demokrasi tidak hanya berarti rakyat memegang kedaulatan, tetapi bahwa tiap orang, tiap komunitas, diakui keunikannya.
Multikulturalisme bukan sekadar wacana, tetapi fondasi.
Sebab yang paling otentik dari manusia bukanlah kesamaannya, melainkan perbedaannya.
Maka, politik kebangsaan NU adalah upaya meneguhkan NKRI, sekaligus merawat perbedaan yang jadi napas republik ini.
Dari Sabang sampai Merauke, dari surau hingga balai desa, NU mencoba menghadirkan wajah yang akrab: tawassuth, tawâzun, tasâmuh.
Moderat, seimbang, toleran.Selebihnya, seperti selalu, politik hanyalah alat. Yang ingin dijaga adalah yang lebih halus: keutuhan.
Dan mungkin di situlah NU memilih berdiri: di antara sejarah dan masa depan, di antara agama dan negara.
Seperti sebatang pohon tua di tepi sawah, akar-akarnya menghujam tanah yang penuh cerita, cabangnya melindungi siapa saja yang lewat.
Sementara angin politik, zaman, dan kepentingan, datang dan pergi.Kita mungkin perlu merenung kembali:
apa arti nasionalisme dalam Indonesia hari ini?
Apakah ia masih sebuah nyala pencarian, atau sudah menjadi abu dalam slogan?Seperti sungai yang terus mengalir, nasionalisme tidak pernah selesai.
Ia hanya bisa dijaga, disegarkan, dan diarahkan.
Dan NU, dengan segala kelokan sejarahnya, barangkali sedang mencoba melakukan itu: menyatukan iman dengan kebangsaan, tanpa kehilangan keduanya.
Dan mungkin, di suatu hari nanti, nasionalisme itu akan tampak seperti sebatang pohon rindang di tengah alun-alun: akarnya menancap dalam pada tanah yang berlapis sejarah, dahannya terbuka menyambut burung-burung yang datang dan pergi, sementara bayangannya melindungi siapa pun yang singgah.
Tak perlu nama besar yang tertera pada batangnya. Cukup ia tumbuh, dan terus hidup.
Gunoto Saparie adalah Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Orwil Jawa Tengah.