RAHASIA NAHDLATUL ULAMA

Selalu ada yang diam di dalam yang tampak bergerak. Barangkali di situlah rahasia Nahdlatul Ulama disembunyikan.
Di mata banyak orang luar, terutama yang berangkat dari semangat modernitas Barat, NU adalah representasi dari “yang lama”: sebuah ordo sosial yang hidup dari kebiasaan, dari ritus yang diwariskan, dari tafsir yang terasa mapan.
Namun, seperti ditunjukkan Mitsuo Nakamura, “yang lama” itu ternyata bisa menjadi dasar bagi gerak yang paling dinamis.
Kita jarang membayangkan bahwa progresivisme bisa lahir dari tradisi. Sebab modernitas telah lama memonopoli kata “maju”.
Tradisi, bagi banyak orang, hanya sinonim dari kemunduran—sesuatu yang menahan laju sejarah. Tetapi barangkali kita terlalu cepat memisahkan keduanya.
Dalam pandangan NU, tradisi justru adalah ingatan yang bergerak. Ia tak membatu.
Ia adalah cara untuk menafsirkan dunia hari ini dengan bahasa kemarin—bukan untuk mengulang masa lalu, melainkan untuk memahaminya kembali.
Tradisi, dalam pengertian ini, adalah ruang tafsir yang terbuka. Ia tak berhenti pada bentuk, melainkan hidup dari makna. Selametan, misalnya.
Dalam wujudnya, ia mungkin berasal dari dunia Hindu-Jawa, namun di tangan Walisongo, maknanya bergeser.
Dari persembahan kepada roh leluhur menjadi doa untuk keselamatan, untuk pengakuan atas keesaan Tuhan, dan untuk pengikat sosial antarwarga.
Bentuknya tetap, isinya berubah. Di sanalah kita menemukan wajah tradisi NU: ia tidak menolak masa lalu, tapi mengolahnya agar tetap hidup di masa kini.
Kita bisa membaca bahwa dalam sikap semacam itu terkandung semacam kesadaran etis. Tradisi bukan sekadar ingatan kultural, melainkan alat untuk menjaga kemaslahatan.
Dalam kaidah klasik NU, tasharruf al-imam ‘ala al-ra’iyyah manuthun bi al-mashlahah—kebijakan pemimpin bagi rakyat harus bertumpu pada kemaslahatan.
Di sinilah letak modernitas NU yang sesungguhnya: bukan dalam adopsi institusi Barat, melainkan dalam kesetiaan pada prinsip etis yang menimbang akibat sosial.
Karena itu, ketika NU menolak demokrasi liberal maupun sosialisme-komunisme, itu bukan karena alergi terhadap perubahan, melainkan karena pengetahuan akan batas.
Batas yang didasarkan pada pengalaman panjang manusia di dalam sejarah. Demokrasi liberal, bagi NU, rawan menumpukkan kekuasaan pada segelintir orang.
Sosialisme-komunisme, dengan ide sentralisasi kekuasaan, justru melenyapkan ruang kebersamaan yang hidup dalam musyawarah.
Maka, “demokrasi Pancasila” bagi NU bukanlah kompromi politik belaka, tetapi tafsir etis atas kehidupan bernegara: kekuasaan harus dipandu hikmah, deliberasi, dan kesejahteraan sosial.
Tradisi, pada akhirnya, adalah kesadaran akan keterbatasan manusia. Ia menolak kesombongan ideologi apa pun yang mengklaim kebenaran tunggal.
Karena itu, tradisi NU tidak menutup diri dari perubahan. Ia terbuka terhadap apa pun yang membawa manfaat.
Itulah sebabnya, dalam Program Dasar Pengembangan NU 1979–1983, kita menemukan semangat ekonomi kerakyatan yang sangat maju.
Di saat negara sibuk meniru model pembangunan kapitalistik yang menggantung pada pasar global, NU justru menyerukan kemandirian ekonomi, perhatian pada 40 persen lapisan bawah, dan prioritas kebutuhan dasar rakyat.
Ironisnya, gagasan progresif semacam itu lahir dari organisasi yang dicap “tradisional”. Tetapi justru karena berakar pada tradisi, NU bisa berpikir panjang.
Sebab tradisi menuntun manusia untuk berpikir dalam rentang sejarah, bukan dalam kalkulasi jangka pendek.
Di titik inilah, modernitas dan tradisionalisme bukanlah dua kutub yang saling meniadakan.
Keduanya bertemu dalam kesadaran yang sama: bahwa manusia selalu berada di antara masa lalu dan masa depan.
Bedanya, tradisi tahu bagaimana menjaga keseimbangan di antaranya. Ia tahu bahwa yang baru tak selalu lebih baik, dan yang lama tak selalu layak ditinggalkan.
Barangkali itulah pelajaran yang kini makin jarang diingat. Di zaman yang tergesa-gesa, kita menyembah yang cepat dan menertawakan yang lambat.
Kita mengira kemajuan adalah deret linear ke depan, padahal ia bisa juga gerak spiral, maju dengan tetap mengelilingi pusatnya.
NU, dengan seluruh perangkat ritual dan intelektualnya, tampaknya memahami hukum spiral ini: perubahan yang setia pada akar.
Mungkin di situlah sebabnya NU tak pernah kehilangan orientasi ketika arus politik berganti-ganti. Ia bisa hidup di bawah rezim manapun tanpa kehilangan kompas.
Karena kompasnya bukan kekuasaan, melainkan kemaslahatan. Prinsip ini sederhana tapi revolusioner: negara sah sejauh ia menyejahterakan rakyat.
Di luar itu, otoritasnya kehilangan legitimasi.Dan mungkin inilah wajah sejati progresivisme: bukan yang membongkar semuanya, tapi yang tahu mana yang perlu dijaga.
Sebab menjaga, dalam tradisi NU, bukan berarti membekukan, melainkan memberi hidup pada yang sudah ada.
Tradisi yang hidup adalah tradisi yang bergerak seperti air sungai yang tetap mengalir meski bersumber dari mata air yang sama.
Ia tak takut berbelok, tak takut berlumpur, karena ia tahu ke mana akhirnya bermuara.Maka ketika seseorang bertanya,
“Mengapa NU tampak tradisional tapi tetap bertahan, bahkan memimpin?” barangkali jawabannya sederhana: karena ia tidak menolak zaman. Ia hanya menolak lupa.
Gunoto Saparie
Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia Orwil Jawa Tengah