MEMBACA, MENULIS DAN KESEHATAN MENTAL

Kita hidup di zaman yang gaduh. Suara-suara dari layar tak pernah berhenti.
Setiap detik, seseorang mengabarkan sesuatu; dan di antara itu semua, kita kehilangan satu hal yang dulu paling sederhana: diam.
Mungkin karena itulah, membaca dan menulis tak hanya menjadi kegiatan intelektual, tapi juga semacam upaya penyembuhan; semacam meditasi sunyi di tengah kebisingan dunia.
Ada seorang perempuan muda di Semarang, sebut saja Ima, yang menulis setiap malam di buku catatan kecil.
Ia tidak pernah berniat menjadi penulis. Ia menulis tentang hal-hal remeh: rasa takut kehilangan, mimpi yang ganjil, suara hujan di jendela.
Selama berbulan-bulan ia hidup dengan kecemasan yang tak tertata. Ia bercerita bahwa menulis membuatnya bisa “menata ulang isi kepalanya.”
Ia menulis, lalu menangis. Ia menulis, lalu tidur lebih tenang.
Seorang psikiater di Rumah Sakit dr. Kariadi yang menanganinya pernah berkata: kadang, pena bisa bekerja seperti terapi.
Tentu, kalimat itu terdengar puitis. Tetapi ia juga benar.
Beberapa penelitian psikologi di Universitas Texas oleh James Pennebaker membuktikan, menulis tentang pengalaman emosional secara rutin mampu menurunkan tekanan darah, meningkatkan sistem kekebalan tubuh, bahkan mempercepat pemulihan luka fisik.
Luka batin, tampaknya, bisa disembuhkan dengan kata-kata. Atau setidaknya, dirawat dengan kalimat.
Tetapi membaca pun bisa menjadi bentuk perawatan. Seorang teman yang kehilangan suaminya bercerita bahwa ia menemukan ketenangan justru ketika membaca The Year of Magical Thinking karya Joan Didion.
Ia menangis, tapi tangisnya bukan sekadar pelampiasan, melainkan pengakuan bahwa penderitaannya punya saudara, di kata-kata orang lain.
Buku itu, katanya, membuatnya merasa tidak sendirian. Barangkali, inilah fungsi paling manusiawi dari membaca: ia mengembalikan kita kepada kesadaran bahwa kesedihan bukan milik pribadi.
Ia milik umat manusia.Kita membaca Laskar Pelangi, dan kita ikut tertawa bersama anak-anak miskin di Belitong.
Kita membaca Norwegian Wood, dan kita terjebak dalam kesepian yang lembut.
Kita membaca puisi Sapardi: “Aku mencintaimu. Itu sebabnya aku takkan pernah selesai mendoakan keselamatanmu”, dan kita mengerti bahwa cinta bisa tetap hidup bahkan tanpa harus memiliki.
Setiap kali kita membaca, sebenarnya kita berdialog dengan batin sendiri.
Goethe pernah menulis: “Membaca adalah percakapan antara jiwa yang hidup dengan jiwa yang sudah lama mati.”
Tetapi kadang-kadang, membaca juga percakapan dengan jiwa yang sedang terluka.
Di Panti Rehabilitasi Jiwa di Magelang, ada program sederhana yang diinisiasi oleh beberapa relawan: terapi membaca puisi.
Pasien-pasien gangguan depresi diajak membaca puisi-puisi Chairil Anwar, Sutardji Calzoum Bachri, sampai Rupi Kaur.
Hasilnya tak ajaib, tetapi terasa. Seorang pasien, S, mulai berani bicara lagi setelah membaca “Aku” karya Chairil dengan suara keras.
“Rasanya seperti menegaskan bahwa aku masih ada,” katanya. Dan mungkin, memang itulah fungsi puisi: mengingatkan kita bahwa “aku” tak lenyap meski dunia serasa runtuh.
Tetapi mengapa membaca dan menulis bisa menyehatkan? Mungkin karena keduanya adalah bentuk kontrol.
Di tengah dunia yang kacau, menulis memungkinkan kita memilih kata, menata makna, menaklukkan yang tak terkatakan.
Kita mungkin tak bisa mengubah peristiwa, tapi kita bisa mengubah cara bercerita tentangnya.
Itulah sebabnya banyak terapis kini menganjurkan journaling — menulis catatan harian — sebagai bagian dari pemulihan depresi atau trauma.
Ada pasien yang menulis surat untuk dirinya sendiri di masa lalu. Ada yang menulis surat untuk orang yang sudah tiada.
Mereka tidak perlu mengirimkannya. Yang penting adalah prosesnya: menulis menjadi cara untuk berdamai.
Seorang tentara Amerika yang pulang dari Irak dengan sindrom PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder) mengaku baru bisa tidur nyenyak setelah menulis cerita pendek tentang perang, fiksi yang sebenarnya autobiografi terselubung.
Ia berkata, “Menulis membuat saya bisa menatap monster itu tanpa takut.”Kita mengenal banyak contoh serupa di Indonesia.
Oka Rusmini menulis tentang luka perempuan Bali. Nh. Dini menulis tentang perempuan yang menolak tunduk.
Mereka tidak hanya menulis sastra. Mereka menulis untuk tetap waras. Dan di sisi lain, membaca karya-karya mereka pun bisa menyembuhkan orang lain.
Seorang aktivis perempuan di Yogyakarta pernah berkata bahwa membaca Kenanga karya Oka Rusmini membuatnya berani keluar dari hubungan yang penuh kekerasan.
“Saya menemukan kekuatan dalam kata-kata perempuan lain,” ujarnya.
Barangkali karena itulah, membaca dan menulis adalah dua sisi dari satu tindakan spiritual: memahami diri.
Namun di tengah arus media sosial, membaca dan menulis sering kehilangan maknanya. Kita menulis status bukan untuk memahami, melainkan untuk diakui. Kita membaca bukan untuk menghayati, melainkan untuk membalas komentar.
Tulisan menjadi cepat, pendek, dangkal, dan kehilangan fungsi penyembuhannya.Padahal, membaca sejatinya mengajak kita menunda reaksi.
Ia melatih sabar, melatih jeda. Menulis pun menuntut hal yang sama. Kita tak bisa menulis dengan tergesa.
Kata-kata yang baik lahir dari kesabaran mengendapkan pikiran. Dan kesabaran, seperti diketahui, adalah bentuk kesehatan mental yang langka hari ini.
Saya ingat seorang penyair tua berkata di sebuah diskusi: “Orang yang menulis itu sedang menyusun kembali dunianya yang retak.”
Saya percaya kalimat itu. Sebab ketika seseorang duduk di depan kertas kosong dan mulai menulis, ia sedang berusaha menata ulang realitas: dari kekacauan menjadi kisah, dari trauma menjadi narasi.
Dan dengan begitu, ia perlahan pulih.Mungkin karena itu, di beberapa negara, ada yang disebut bibliotherapy, terapi dengan membaca.
Di Inggris, misalnya, dokter umum dapat meresepkan buku bagi pasien depresi ringan. Mereka menyebutnya Books on Prescription.
Di perpustakaan, ada rak khusus untuk itu: buku-buku yang dianggap menyehatkan pikiran.
Kita belum sampai ke sana. Tetapi di beberapa komunitas literasi di Indonesia, sudah mulai tampak gejalanya.
Di komunitas Sangkar Wiku Book Club di Semarang, misalnya, pernah diadakan diskusi tentang sastra dan kesehatan mental.
Para peserta membaca kisah-kisah tentang trauma, kemudian berbagi pengalaman pribadi.
Salah satu peserta berkata, “Membaca kisah orang lain membuat saya berani bercerita tentang diri sendiri.”
Begitulah: membaca membuka pintu empati. Dan empati, kata psikolog Carl Rogers, adalah inti dari penyembuhan.
Tentu saja, tidak semua orang harus menjadi penulis atau kutu buku untuk menjadi sehat. Tetapi setiap orang, mungkin, perlu sesekali berhenti: membuka buku, menuliskan kalimat, mendengarkan dirinya sendiri.
Di sanalah, kita belajar menjadi utuh kembali.Pada akhirnya, membaca dan menulis bukan sekadar aktivitas literasi, melainkan bentuk keberanian.
Keberanian untuk menghadapi diri sendiri, keberanian untuk mengakui luka, keberanian untuk merawatnya dengan bahasa.
Sebab di dalam setiap kata, selalu ada kemungkinan untuk sembuh.
Dan mungkin, seperti yang pernah ditulis Franz Kafka dalam suratnya kepada seorang sahabat: “Sebuah buku harus menjadi kapak untuk memecah laut beku di dalam diri kita.
“Mungkin, menulis pun begitu. Sebilah kapak kecil, yang pelan-pelan, menolong kita memecahkan kebekuan itu, agar jiwa bisa mengalir lagi.
Gunoto Saparie adalah Ketua Umum Satupena Jawa Tengah.
