HERMENEUTIKA KITAB SUCI: BERDIALOG DENGAN AYAT
Ada yang ganjil namun justru akrab dalam pengalaman membaca kitab suci: kita tahu bahwa kita tidak akan pernah benar-benar selesai.
Ayat demi ayat seolah menyimpan bisikan rahasia yang berubah nada ketika dibaca dari ruang dan waktu yang berbeda.
Mungkin karena itu, tafsir tak pernah tinggal diam. Ia bergerak, bertanya, dan kadang menantang dirinya sendiri.Lalu datanglah hermeneutika.
Sebuah kata tua dari dunia Yunani, yang dulu berarti seni menafsirkan pesan para dewa.
Akan tetapi, kini ia menjelma menjadi semacam jendela: bukan untuk melihat keluar, namun untuk menengok ulang makna yang tersembunyi di balik kata-kata.
Hermeneutika tidak hanya bertanya apa yang dikatakan teks, tetapi bagaimana ia mengatakan, dan mengapa ia bisa dimengerti—atau malah disalahpahami.
Dalam tafsir Al-Quran, hermeneutika adalah tamu yang tak selalu disambut hangat.
Ia datang membawa pertanyaan yang bisa membuat resah: apakah makna wahyu bisa berubah?
Apakah suara Tuhan harus dibaca ulang dengan kacamata sejarah? Bukankah itu berbahaya?Justru di situlah menariknya.
Metodologi tafsir hermeneutika mengajukan bahwa teks suci, seperti Al-Quran, tidak hadir dalam ruang hampa.
Ia lahir dalam sejarah, diturunkan kepada manusia dalam konteks sosial, budaya, bahkan politik.
Maka, memahami makna ayat pun—kata para pemikir seperti Nasr Hamid Abu Zayd atau Fazlur Rahman — harus melalui penggalian terhadap konteks historis, struktur bahasa, dan niat komunikatif wahyu.
Ini bukan sekadar “apa firman-Nya”, tetapi juga “kepada siapa, dalam situasi seperti apa, dan mengapa begitu dikatakan”.
Kelebihannya jelas: pendekatan ini membuka pintu bagi pembacaan yang lebih relevan dengan zaman.
Ia memberi ruang bagi Al-Quran untuk bicara kepada manusia hari ini—bukan hanya kepada umat abad ke-7.
Hermeneutika menolak kekakuan; ia menolak anggapan bahwa tafsir bisa berhenti pada satu kesimpulan mutlak.
Dalam dunia yang terus berubah, ia mengajak kita untuk tak henti berdialog dengan ayat.
Suara Tuhan Vs Tafsir Manusia
Akan tetapi, seperti semua hal yang berpijak pada pemahaman manusia, hermeneutika punya risiko.
Ia bisa tergelincir menjadi pembacaan yang terlalu bebas, terlalu terikat pada relativisme.
Ayat suci bisa saja ditarik ke arah yang dikehendaki pembacanya, bukan sebaliknya.
Ada yang khawatir, dalam tafsir semacam ini, suara Tuhan bisa larut dalam kebisingan tafsir manusia.
Dan mungkin, kekhawatiran itu tidak sepenuhnya keliru.Namun, bukankah setiap tafsir memang membawa jejak subjektif?
Bahkan tafsir klasik pun, meski memakai bahasa otoritas, tetap dibangun dari pilihan-pilihan interpretatif manusia.
Perbedaan tafsir di antara para ulama terdahulu justru menjadi bukti bahwa makna tak pernah tunggal.
Hermeneutika, pada akhirnya, bukan alat yang menjauhkan dari teks, tetapi justru mendekatkan.
Ia mengajak kita mendengar lebih dalam, meraba nuansa yang tak terlihat.
Seperti mendengarkan musik lama dalam ruang yang baru—lagunya sama, tapi resonansinya bisa berubah.
Dan dalam perubahan itu, barangkali, iman kita diuji: apakah kita siap untuk terus membaca? Atau kita berhenti di batas-batas yang nyaman?
Goethe pernah berkata, “Apa yang kau warisi dari leluhurmu, raihlah kembali untuk memilikinya.”
Mungkin begitu pula dengan wahyu. Ia diturunkan sebagai warisan, tetapi harus terus diperjuangkan maknanya agar tetap hidup.
Hermeneutika hanya salah satu cara—bukan yang paling sempurna, namun bisa menjadi jalan untuk memahami bahwa membaca Al-Quran adalah perjalanan yang tak pernah selesai.
Dan dalam ketidakselesaiannya, ia terus memberi hidup.
Gunoto Saparie adalah Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Orwil Jawa Tengah.