ISLAM LIBERAL MEREDUP?

Di satu senja, saya pernah duduk di sebuah warung kecil di Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta.

Di atas meja: koran, ponsel, kopi, dan sepi. Di pojok halaman opini koran itu, ada sebuah nama yang dulu sering muncul kini menghilang: Ulil.

Dulu, Ulil Abshar Abdalla pernah dianggap batu kerikil di sepatu peradaban Islam Indonesia.

Kini, suaranya lirih—atau mungkin kita yang tak lagi mendengarkan.Islam liberal.

Sebuah frasa yang dulu mengundang gelisah. Bukan karena maknanya yang terang, tapi karena cahayanya yang dianggap terlalu silau.

Ia bicara soal rasionalitas, kebebasan tafsir, dan pluralisme agama — tiga hal yang dalam banyak benak, terasa seperti ledakan kecil dalam ruang ibadah yang hening.

Tetapi kini, wacana itu seperti bayang di dinding senja: ada, namun melemah.

loading...

Mengapa? Mungkin karena sejarah tak selalu memberi panggung yang adil.

Atau karena suara yang terlalu nyaring, jika tidak diimbangi kekuasaan, akan tenggelam dalam riuh amarah.

Atau barangkali karena waktu punya selera sendiri tentang siapa yang boleh berbicara dan siapa yang mesti diam.

Baca Juga  Kordinator Relawan Idham : Firnando Caleg Golkar Dapil 1 Jateng "Pastikan Menang Dapat Kursi DPR RI"

Islam liberal di Indonesia — jika bisa disebut gerakaN — pernah hidup di era ketika harapan pada demokrasi baru tumbuh seperti rumput setelah hujan.

Awal 2000-an. Reformasi baru saja membuka jendela, dan angin segar itu membawa pemikiran baru: Islam bisa demokratis, Islam bisa plural, Islam bisa ditafsir ulang.

Majalah seperti Ummat, Jurnal Ulumul Qur’an, atau diskusi di Paramadina dan Jaringan Islam Liberal menjadi tempat ziarah baru bagi gagasan-gagasan yang berani.

Akan tetapi, angin bisa berubah arah. Setelah sepuluh tahun, angin segar itu berubah menjadi badai kecil yang menghempaskan kapal.

Serangan dari kelompok Islam konservatif, pembubaran diskusi, hingga teror digital membuat ruang debat menciut.

“Liberal” menjadi kata cacian, bukan wacana. Ia kehilangan pesona.

Tidak Sepenuhnya Mati

Di sisi lain, Islam liberal seperti kehilangan akar sosialnya. Ia berbicara dari menara gading.

Ia berbicara dalam bahasa akademik, dalam metafora, dalam seminar.

Tapi masyarakat lebih menyukai suara yang gamblang, tegas, dan tanpa keraguan.

Bukan karena mereka bodoh, tapi karena dalam zaman yang riuh, hanya suara yang keras yang terdengar.

Baca Juga  Logistik Pilkada Desa Seomerto Disalurkan Dengan Jalan Kaki

Media sosial mempercepat segalanya. Termasuk kematian sunyi dari satu aliran pemikiran.

Di Instagram, tidak ada tempat untuk tafsir hermeneutika Al-Quran. Di TikTok, tak ada ruang untuk diskusi filsafat agama.

Yang ada adalah dakwah satu menit, potongan ayat, dan wajah-wajah bersorban, jidat menghitam, berjenggot, yang berkata: “Ini haram.”

Dalam dunia seperti itu, barangkali Islam liberal terasa seperti sedang berbicara dalam bahasa Latin di tengah pasar malam.

Dan mungkin, yang paling menyedihkan, adalah kenyataan bahwa sebagian dari tokoh Islam liberal itu sendiri perlahan memilih diam.

Entah karena lelah, entah karena kesadaran bahwa dalam politik identitas, suara seperti mereka dianggap asing.

Atau mungkin, seperti tokoh dalam cerita Borges, mereka memilih menyepi karena tahu bahwa pertempuran ini bukan lagi milik mereka.

Namun, sebagaimana hal-hal yang pernah menyala, Islam liberal tak sepenuhnya mati.

Ia ada dalam buku-buku yang tersimpan di rak sepi. Ia hidup dalam diskusi kecil di ruang kelas yang tak diliput media.

Baca Juga  Warga Pandansari Gelar Nyadran di Makam Mbah Jungke

Ia adalah bisikan pelan yang mungkin tak terdengar hari ini, tapi suatu hari nanti, ketika sejarah kembali butuh cahaya dari tepi, ia akan menemukan jalannya.

Sebab sejarah bukan garis lurus. Ia spiral. Ia kembali, meski tak persis sama.

Gunoto Saparie, Ketua Dewan Kesenia Jawa Tengah dan Fungsionaris Ikatan Cedekiawan Muslim Indonesia Korwil Jawa Tengah.