LUKA PENGHAYAT KEPERCAYAAN

Di sebuah dusun yang tak disebut di peta, seorang perempuan tua menyalakan dupa.

Uap harum membumbung di antara senyap pepohonan dan nyanyian kecil dari mulutnya yang renta.

Di atas batu pipih ia letakkan sesaji. Ia menyebut nama-nama yang tidak tercatat dalam kitab suci manapun, tetapi barangkali telah lebih lama hadir dalam sejarah manusia Indonesia.

Di sana, ia bertemu dengan Tuhan dengan cara yang kita — yang hidup di kota dan berkartu identitas — tidak pahami.

Tiba-tiba saya teringat Hannah Arendt ketika ia menulis tentang banality of evil — betapa kejahatan paling kejam seringkali hadir dalam bentuk-bentuk yang sangat biasa.

Sebuah kolom kosong dalam KTP. Sebuah data yang tak masuk sistem.

Sebuah senyum petugas yang berubah kaku ketika mendengar kata “penghayat kepercayaan”.

loading...

Negara ini, dengan segala kesungguhan teks konstitusinya, mengaku telah mengakui mereka –kelompok penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan masyarakat adat.

Namun, dalam pengakuan itu terdapat keheningan panjang yang menandai sebuah jarak: antara hukum dan kenyataan, antara pasal dan perlakuan, antara pengakuan dan penerimaan.

Baca Juga  Sekolah Rakyat Untuk Bangsa Berdaulat

Iman Tidak Harus Berwajah Agama yang Tercatat

Pada 7 November 2017, Mahkamah Konstitusi mengukir sebuah putusan yang, oleh sebagian, disambut sebagai kemenangan.

Pasal-pasal yang sebelumnya menyingkirkan penghayat dari ruang administrasi public — Pasal 61 dan 64 UU Adminduk — dibatalkan. Negara, katanya, akhirnya mengakui bahwa iman tidak harus berwajah agama yang tercatat.

Tetapi kemenangan hukum tak serta merta mengubah cara pandang.

Seperti sebuah rumah tua yang dicat baru, diskriminasi tetap membayang di dalam dindingnya.

Dalam sistem pendidikan, anak-anak penghayat kerap kesulitan mendapatkan pelajaran agama sesuai keyakinannya.

Dalam pelayanan publik, mereka masih harus menjelaskan, membela, bahkan meminta maaf karena berbeda.

Di kantor catatan sipil, mereka masih dianggap janggal. Di televisi, mereka nyaris tak pernah ada.

Mereka, yang hidup dalam tradisi ratusan tahun, justru disebut “kurang modern.”

Padahal yang paling modern dari sebuah bangsa adalah ketika ia bisa hidup damai dalam keberagaman bentuk keyakinan, dalam rupa-rupa cara menyebut Tuhan, atau bahkan tak menyebut-Nya sama sekali.

Baca Juga  Optimalisasi Aglomerasi Solo Raya: Dorongan Pemerintah untuk Tingkatkan Investasi dan Infrastruktur

Kita hidup dalam republik yang konstitusinya menjamin kebebasan beragama — dan berkepercayaan.

Namun seperti kata Albert Camus, ada perbedaan besar antara hidup dan sekadar bernapas.

Mereka yang berbeda keyakinan itu, meski bernapas dalam republik ini, belum sungguh dihidupkan oleh hak-hak yang adil.

Di balik putusan MK itu, ada sejarah panjang eksklusi: sejak zaman kolonial hingga Orde Baru.

Kepercayaan-kepercayaan lokal dianggap primitif, tidak sesuai dengan semangat pembangunan, bahkan dituduh sebagai ancaman bagi nasionalisme.

Nama-nama seperti Parmalim, Kaharingan, Marapu, Wetu Telu, Sunda Wiwitan — semuanya ditulis dengan tinta kecil dalam buku sejarah nasional, jika tidak dihapus sama sekali.

Hari ini, mereka tetap berjalan. Dalam hening, dalam ketekunan merawat tradisi, dalam luka yang diwariskan.

Mereka tidak menuntut lebih, hanya ingin diakui sebagai manusia penuh.

Bukan subyek yang dikasihani, bukan minoritas yang ditoleransi, tetapi warga negara yang setara.

Barangkali, dalam dupa yang terbakar dan sesaji yang diletakkan di batu, tersimpan sebuah doa: agar negara tidak hanya melihat, tetapi juga menyapa.

Baca Juga  Pemkab Kendal Raih Penghargaan APE Kategori Nindya Dari Kementrian

Karena di negeri ini, yang mengaku menjunjung “Ketuhanan Yang Maha Esa”, terlalu banyak cara menyembah Tuhan yang dikecilkan.

Terlalu banyak manusia yang, meski sah secara hukum, tetap menjadi orang asing di tanah air sendiri.

Gunoto Saparie adalah Ketua Umum Satupena Jawa Tengah