PENATAAN ODOL HARUS BERTAHAP: PENDEKATAN BERBASIS DATA DAN KOMODITAS UNTUK MENJAGA STABILITAS SISTEM LOGISTIK

Penertiban truk over dimension dan overload (ODOL) tidak bisa dilakukan secara sekaligus.

Perlu pendekatan bertahap yang mempertimbangkan karakteristik setiap komoditas, struktur biaya logistik, serta dampaknya terhadap stabilitas harga barang dan tingkat inflasi.

Tanpa strategi berbasis data komoditas yang matang, upaya penegakan hukum justru berisiko menimbulkan gejolak ekonomi dan memperlebar ketimpangan di sektor transportasi barang._

*Ketika Pelanggaran Lebih Menguntungkan daripada Kepatuhan*

Setiap pagi, di ruang tunggu yang sederhana di tepi gudang, Pak Budi—sopir truk pengangkut semen—selalu dihadapkan pada pilihan sulit:

memuat sesuai aturan namun merugi, atau menambah muatan demi menyambung hidup, meski tahu risikonya besar.

Pilihannya kerap jatuh pada yang kedua.

loading...

“Kalau patuh aturan, uangnya cuma cukup buat solar. Lha, anak istri saya makan apa?” keluhnya sambil mengusap keringat.

Cerita Pak Budi bukan sekadar soal pelanggaran individu. Ia mencerminkan betapa belum adilnya sistem logistik kita:

ketika kepatuhan sering kali berarti kerugian, sementara pelanggaran malah menjadi jalan bertahan hidup.

Masalah truk over dimension and overload (ODOL) seperti yang dialami Pak Budi bukanlah hal baru.

Lebih dari satu dekade, isu ini terus menghantui sistem transportasi dan logistik nasional.

Hampir setiap tahun, wacana penertiban ODOL kembali mengemuka—melalui kebijakan baru, sorotan media, atau keluhan publik.

Namun kenyataannya, truk-truk bermuatan dan berdimensi berlebih tetap saja hilir mudik di jalan raya.

Ironisnya, semua pihak tahu ini masalah, tapi seakan menerima sebagai “kenormalan” dalam sistem distribusi barang kita.

Padahal, dampaknya pun tidak ringan. Jalan-jalan yang seharusnya awet puluhan tahun rusak sebelum waktunya.

Angka kecelakaan lalu lintas meningkat karena kendaraan melebihi daya angkutnya.

Negara pun harus merogoh anggaran besar hanya untuk menambal kerusakan yang sebenarnya belum perlu dilakukan.

Lebih ironis lagi, pelaku usaha yang memilih taat aturan justru kalah bersaing dengan mereka yang nekat melanggar demi menekan ongkos.

Di tengah sistem yang timpang ini, operator kecil seperti Pak Budi nyaris tidak punya pilihan selain ikut melanggar demi bertahan hidup.

Ujung-ujungnya, masyarakat juga yang menanggung bebannya— mulai dari risiko keselamatan di jalan sampai harga barang yang tak stabil akibat biaya logistik yang tidak efisien dan tidak transparan.

*ODOL Jadi Jalan Pintas di Tengah Pasar yang Terlalu Bebas*

Mari kita berani melihat lebih dalam akar masalah ODOL. Masalah ini bukan sekadar soal sopir yang melanggar aturan, atau lemahnya pengawasan di jalan raya.

Masalah sesungguhnya berakar dari sistem persaingan usaha di sektor logistik yang terlalu liberal, persaingan bebas, dan dibiarkan berjalan tanpa kendali.

Dalam kondisi seperti ini, tarif angkutan barang bergerak bebas tanpa batas bawah dan tanpa regulasi yang mampu menjaga iklim persaingan tetap sehat.

Di tengah situasi pasar yang begitu kompetitif dan tanpa batas tarif yang wajar, praktik banting harga menjadi hal yang lumrah.

Pemilik barang tentu akan memilih penyedia jasa angkutan paling murah, dan operator angkutan pun terpaksa menerima tarif murah demi tetap mendapat muatan.

Karena biaya operasional sulit ditekan lagi dan tekanan margin keuntungan yang sangat tipis, satu-satunya cara bertahan yang dianggap realistis adalah menambah muatan melebihi kapasitas kendaraan.

Pelanggaran ini bukan lahir dari niat melawan hukum, melainkan dari tekanan sistemik yang memaksa pelaku usaha mencari celah untuk bertahan.

Baca Juga  DPRD Jateng Apresiasi Sukoharjo dalam Penanggulangan Kemiskinan dengan CSR

Ketika tidak ada perlindungan harga dan tidak ada insentif untuk taat aturan, ODOL pun berubah menjadi solusi diam-diam yang diterima sebagai kelaziman —meski jelas menyalahi hukum.

Sayangnya, penanganan ODOL selama ini hanya menonjolkan pendekatan penegakan hukum di lapangan, tanpa benar-benar menyentuh akar persoalan ekonominya.

Razia dilakukan, sanksi dijatuhkan, tetapi yang disasar umumnya hanya sopir atau operator kecil.

Sementara itu, pemilik barang, pemilik armada, atau sistem tarif yang mendorong terjadinya pelanggaran justru luput dari pengawasan.

Akibatnya, penindakan terlihat tegas, tapi dampaknya tidak menyentuh jantung masalah.

Kita sibuk menegakkan hukum di hilir, tapi abai membenahi regulasi di hulu, ibarat kata, sibuk menebang ranting-ranting masalah di hilir, tapi lupa mencabut akar persoalan di hulu.

Menegakkan Aturan ODOL di Bawah Bayang-Bayang Inflasi

Penanganan ODOL sering kali terhenti bukan karena lemahnya komitmen hukum, melainkan karena kekhawatiran pemerintah terhadap dampak ekonominya.

Penegakan aturan secara ketat akan langsung menurunkan kapasitas angkut truk, yang kemudian mendorong kenaikan ongkos kirim dan biaya logistik secara keseluruhan.

Dalam situasi ini, kenaikan harga barang di pasar menjadi konsekuensi yang sulit dihindari.

Ketakutan terhadap efek domino inilah yang membuat pemerintah cenderung berhati-hati, bahkan menahan diri untuk bertindak tegas.

Bukan karena takut pada pelaku pelanggaran, tetapi karena khawatir penertiban serentak justru akan memicu inflasi dan mengguncang harga barang pokok.

Risiko ini tentu tidak diinginkan siapa pun, terutama saat pemerintah tengah berupaya menjaga stabilitas harga dan daya beli masyarakat.

Situasi ini menciptakan dilema kebijakan. Di satu sisi, pemerintah berkepentingan menegakkan aturan demi keselamatan pengguna jalan dan demi menjaga kelayakan dan usia teknis jalan.

Di sisi lain, ada tekanan kuat untuk menjaga stabilitas harga dan kelancaran distribusi barang. Kekhawatiran semacam ini bukan tanpa alasan, terutama di tengah sistem logistik nasional yang belum efisien.

Bahkan di tingkat pelaksana, kerap muncul pertanyaan praktis: bagaimana jika penegakan hukum terlalu ketat dan justru menyebabkan lonjakan harga sembako atau bahan bangunan?

Inilah paradoks dalam penanganan ODOL: membiarkan pelanggaran berarti merelakan jalan rusak dan keselamatan terancam, tapi menertibkan secara serentak dan terlalu ketat juga bisa menimbulkan gejolak ekonomi, inflasi.

Karena itu, solusinya bukan dengan razia besar-besaran di lapangan, melainkan merancang penegakan hukum yang berbasis data komoditas —dilakukan secara bertahap, selektif, dan disesuaikan dengan karakter serta sensitivitas tiap jenis barang yang diangkut.

ODOL Tak Bisa Ditertibkan dengan Satu Resep untuk Semua

Seperti halnya seorang dokter tak akan memberikan resep obat yang sama kepada semua pasien, kebijakan truk ODOL juga butuh pendekatan dan penanganan berbeda tiap komoditas.

Bayangkan, menertibkan truk pengangkut batu bara jelas berbeda tantangannya dengan menertibkan truk sayur dari lereng Dieng yang berpacu dengan waktu demi menjaga kesegaran.

Salah diagnosis, salah penanganan—dan yang dirugikan bukan hanya pelaku usaha, tapi juga masyarakat luas sebagai konsumen akhir.

Sayangnya, pendekatan yang selama ini diambil pemerintah masih terlalu generik, terlalu disamaratakan, seolah semua pelanggaran ODOL memiliki sebab dan dampak yang serupa.

Padahal, tiap jenis komoditas punya karakter unik: rantai distribusi, struktur biaya, dan sensitivitas harga yang berbeda-beda.

Baca Juga  Peringati Hari Aids, Puskesmas Gubug 2 Gelar Senam Bersama Dan Baksos

Kenaikan biaya angkut 10% untuk batubara mungkin hanya berpengaruh kecil, tapi untuk cabai atau bawang, bisa langsung menaikkan harga 15-20% di pasar, dampaknya bisa langsung dirasakan konsumen.

Karena itu, kebijakan ODOL harus disesuaikan dengan karakter barang yang diangkut.

Inilah pentingnya pendekatan berbasis data dan komoditas, bukan pendekatan satu resep untuk semua.

Karena itu, diperlukan kebijakan yang lebih cermat dan berbasis data. Langkah awalnya adalah dengan melakukan pemetaan komoditas secara menyeluruh.

Pemerintah perlu mengetahui komoditas apa saja yang paling banyak diangkut oleh truk ODOL—apakah dominan di sektor tambang, pangan, bahan bangunan, atau barang industri.

Setelah itu, perlu dikaji lebih dalam: seberapa besar porsi ongkos logistik dalam membentuk harga jual akhir? Bagaimana sensitivitas harga komoditas tersebut terhadap perubahan biaya angkut?

Dan apa dampak sosial-ekonomi yang mungkin timbul jika penegakan ODOL diterapkan?

Dari sinilah kebijakan penertiban bisa dirancang lebih tepat sasaran.

Tidak lagi seperti obat generik, tapi seperti resep khusus yang disesuaikan dengan pemahaman atas kondisi masing-masing komoditas.

Bertahap dan Tepat Sasaran: Cara Cerdas Menertibkan ODOL

Untuk menangani truk ODOL, pendekatan berbasis data komoditas menjadi kunci. Strategi ini memungkinkan penertiban dilakukan secara lebih bijak – tidak membebani sektor yang rentan terhadap kenaikan biaya logistik, seperti pangan dan kebutuhan pokok, tapi tetap konsisten menegakkan aturan.

Langkah bertahap bisa dimulai dari komoditas dengan ketahanan ekonomi kuat dan risiko inflasi rendah.

Untuk kebutuhan pokok seperti bahan pangan, pemerintah bisa memberikan masa transisi disertai insentif.

Sementara untuk barang mewah atau elektronik yang sering melanggar tapi dampak ekonominya kecil, penertiban bisa dilakukan lebih ketat.

Inilah esensi pendekatan baru: penegakan hukum yang mempertimbangkan jenis komoditas, bukan sekadar jenis kendaraan. Dengan cara seimbang seperti ini, transisi menuju kepatuhan bisa berjalan lebih adil tanpa mengguncang ekonomi.

Pendekatan berbasis komoditas ini memungkinkan penegakan aturan tanpa mengorbankan stabilitas ekonomi.

Penertiban tetap berjalan, tapi risiko lonjakan harga dan gangguan pasokan bisa dikendalikan.

Bagi pelaku usaha, kebijakan ini juga tidak akan terasa sebagai ancaman mendadak, melainkan sebagai proses penyesuaian yang memberi ruang untuk beradaptasi.

Pendekatan ini bukan bentuk kompromi terhadap pelanggaran, melainkan wujud dari pemahaman terhadap realitas di lapangan—sebuah cara cerdas untuk memastikan penegakan aturan dilakukan secara adil, proporsional, dan berdampak jangka panjang.

Belajar dari negara lain,Vietnam telah membuktikan keberhasilan pendekatan ini.

Negeri itu berhasil menurunkan jumlah truk ODOL secara signifikan tanpa menimbulkan gejolak harga di pasar.

Kuncinya ada pada tiga langkah strategis: pertama, membangun sistem database terpadu untuk memetakan pergerakan komoditas dan angkutan barang.

Kedua, memberikan insentif bagi perusahaan yang mau beralih ke armada standar—termasuk potongan pajak, kemudahan pembiayaan, dan prioritas layanan di pelabuhan.

Ketiga, barulah sanksi tegas diberlakukan secara bertahap setelah infrastruktur dan ekosistem kepatuhan terbentuk. Indonesia dapat mengambil pelajaran dari model tersebut.

Mulailah dari membangun sistem pengawasan yang berbasis data komoditas, lalu beri ruang adaptasi bagi pelaku usaha, dan lanjutkan dengan penegakan hukum yang konsisten.

Dengan cara bertahap seperti ini, perubahan bisa terjadi secara lebih alami tanpa mengorbankan ketahanan logistik maupun kestabilan harga di pasar.

ODOL Bukan Urusan Satu Kementerian Saja*

Baca Juga  Ketua Komisi B DPRD Dorong Penguatan Akses Permodalan bagi UMKM Semarang

Penanganan masalah ODOL tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada Kementerian Perhubungan.

Persoalan ini bersifat lintas sektor dan menyentuh banyak aspek yang melibatkan berbagai kementerian dan lembaga. Kementerian Perdagangan, misalnya, berperan dalam pengaturan harga dan tata niaga komoditas.

Kementerian Perindustrian berkaitan dengan standar spesifikasi kendaraan dan rantai pasok industri.

Kementerian Keuangan memiliki kewenangan dalam merancang insentif fiskal serta regulasi tarif logistik, sementara BUMN sektor keuangan dibutuhkan untuk mendukung pembiayaan peremajaan armada.

Kepolisian berperan dalam aspek penegakan hukum, dan pemerintah daerah memiliki tanggung jawab penting dalam pengawasan operasional di lapangan serta pelaksanaan aturan teknis di tingkat lokal.

Tanpa kerja sama semua pihak, penertiban ODOL hanya akan menjadi rutinitas yang berulang: razia demi razia, tanpa pernah benar-benar menyentuh akar persoalan.

Upaya penegakan hukum yang berjalan sendiri-sendiri tak akan mampu memperbaiki sistem distribusi secara menyeluruh. Yang dibutuhkan adalah pendekatan kolaboratif antarlembaga, agar bisa memutus mata rantai pelanggaran yang sudah mengakar ini.

Penertiban ODOL sebagai Bagian dari Reformasi Logistik Nasional

Pada akhirnya, penertiban ODOL harus diposisikan sebagai bagian dari agenda besar reformasi sistem logistik nasional.

Ini bukan cuma persoalan truk kelebihan muatan, tetapi tentang bagaimana kita membangun sistem distribusi yang efisien, adil, dan bisa bertahan jangka panjang.

Kita perlu menata ulang seluruh ekosistem barang—dari penataan tarif angkutan yang manusiawi, pengelolaan sistem transportasi barang yang terintegrasi, hingga kesiapan prasarana jalan yang sesuai daya dukung dan standar teknisnya.

Reformasi ini tentu tidak mudah. Di satu sisi, ada pemain besar yang harus ditertibkan.

Di sisi lain, masyarakat perlu paham bahwa penegakan aturan ini demi kepentingan bersama.

Sudah waktunya pemerintah berhenti bersikap reaktif. Jangan sampai penanganan ODOL jadi seperti sinetron tahunan: gencar dirazia saat ramai di media, dilonggarkan saat ekonomi goyah, lalu muncul kembali saat terjadi kecelakaan besar.

Pola seperti ini hanya menumbuhkan kelelahan publik dan memperkuat kesan bahwa hukum hanya berlaku situasional.

Kini saatnya pemerintah tampil dengan arah kebijakan yang jelas, data yang terbuka dan akurat, serta dijalankan secara konsisten.

Penertiban ODOL bukan semata soal menindak pelanggaran teknis di lapangan, tetapi bagian dari upaya membenahi fondasi logistik nasional demi keselamatan di jalan raya, keadilan antar pelaku usaha, dan kepentingan jangka panjang ekonomi negara.

Pertanyaan besarnya: mau sampai kapan kita membiarkan pelanggaran menjadi kebiasaan, hanya karena takut melakukan perubahan mendasar?

Reformasi sistem logistik memang berat, tapi terus membiarkan ODOL sama saja menunda masalah yang justru semakin mahal di kemudian hari.

MUHAMMAD AKBAR, Pemerhati Transportasi.Magister dalam bidang Transport Planning and Engineering.