KEBEBASAN BERAGAMA, HAK ATAU HADIAH: GEMBOSNYA OTORITAS NEGARA

Apa kabar Rancangan Peraturan Presiden tentang Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama yang sedang disusun oleh pemerintah?

Saya mendadak teringat pada kalimat yang pernah ditulis Milan Kundera: “The struggle of man against power is the struggle of memory against forgetting.”

Barangkali kita tengah melupakan sesuatu. Bahwa kerukunan, sebagaimana cinta atau keberanian, tak pernah selesai dirumuskan.

Ia tak bisa diatur seperti arus lalu lintas. Tetapi pemerintah, seperti biasa, percaya bahwa sebuah Peraturan Presiden bisa menyelesaikan perkara yang bahkan tak selesai dalam doa.

Sebelumnya, kerukunan umat beragama diatur dalam Peraturan Bersama dua Menteri: Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri.

Ia lahir pada 2006, dalam situasi yang gamang. Waktu itu, negeri ini tengah diguncang konflik horisontal, luka yang terbuka di Poso, Ambon, dan tempat-tempat lain.

Peraturan Bersama Menteri (PBM) No. 9 dan No. 8 itu dimaksudkan sebagai pagar, agar rumah-rumah ibadat tak kembali terbakar.

loading...

Tetapi pagar itu kemudian justru menjadi tembok. Ia membatasi, menyaratkan izin berlapis, dan sering kali membungkam—bukan menjaga—iman yang berbeda.

Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang dibentuk atas dasar PBM itu misalnya, sering dianggap sebagai wasit yang tak netral.

Mereka menilai apakah sebuah rumah ibadat pantas dibangun, berdasarkan kesepakatan mayoritas.

Tapi sejak kapan keyakinan seseorang harus mendapat izin dari orang lain? Dalam demokrasi, suara terbanyak memang menentukan jabatan, tapi bukan kebenaran.

Kini, PBM itu hendak diangkat derajatnya. Dari Peraturan Menteri menjadi Peraturan Presiden.

Seolah-olah dengan perubahan jenjang, kandungan masalah di dalamnya akan berubah pula.

Padahal, seperti kata Chairil Anwar, “Kita sudah coba. Apa yang tak bisa kita coba?” Kita sudah coba larangan, kita sudah coba syarat kuasa mayoritas, kita sudah coba harmoni yang dikelola negara—dan kita masih menyaksikan orang diusir dari rumah ibadah, keyakinan dikriminalkan, persekusi dibungkus kata-kata “kerukunan”.

Baca Juga  Komisi C DPRD Jateng Soroti Modal dan Efisiensi Bank Jateng dalam Kunjungan Kerja ke Surakarta

Setara Institute, yang telah lama mengamati perkara kebebasan beragama, menyebut bahwa Ranperpres ini masih menyimpan potensi diskriminatif.

Dalam tubuhnya, ada semacam asumsi bahwa konflik antar umat bisa dikendalikan dari atas, bahwa kebebasan bisa dilisensi kan.

Tetapi apakah kebebasan beragama itu hak atau hadiah? Gembosnya Otoritas Negara

Membaca naskah Rancangan Peraturan Presiden tentang Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama itu, saya tergoda bertanya: apakah yang sedang diperkuat adalah kerukunan itu sendiri, atau justru lembaga yang ditugasi untuk menjaganya?

Pertanyaan ini tampak sederhana, bahkan sekilas terdengar sepele. Tetapi dari sanalah kecurigaan bertunas.

Dalam draf yang beredar, sebagian besar isinya adalah serangkaian pasal tentang hak dan wewenang FKUB, yang seakan-akan menjadi satu-satunya garda terdepan (dan belakang) dalam urusan menjaga kerukunan umat beragama.

Negara, di mana selama ini dikira punya otoritas, tanggung jawab, dan kekuatan hukum untuk mengayomi, tiba-tiba mengecil, gembos, bahkan nyaris tak bersuara.

Apakah yang tersisa dari negara dalam rancangan ini hanyalah bentuk administratif: menandatangani, mendanai, mencatat.

Tapi bukan memelihara, bukan melibatkan diri secara aktif dalam ikhtiar membangun ruang bersama yang aman bagi setiap keyakinan.

Seakan-akan kerukunan adalah urusan yang bisa didelegasikan. Seperti kontrak outsourcing untuk hal-hal yang semestinya melekat pada tubuh negara itu sendiri.

Siapa Pengawas FKUB?

FKUB diberi ruang yang begitu luas, bahkan mengambang. Ia diberi kewenangan, anggaran, dan posisi strategis.

Tetapi tidak ada satu pun pasal menjelaskan dengan jernih:

bagaimana mekanisme advokasinya? Bagaimana FKUB menjamin keadilan bagi kelompok minoritas yang kerap kali justru terpinggirkan oleh konsensus mayoritas?

Baca Juga  Komisi D DPRD Jateng: Kesepahaman Bersama Diperlukan dalam Pengelolaan Energi Baru Terbarukan

Siapa yang akan mengawasi FKUB itu sendiri? Apa jaminannya bahwa forum ini tak berubah menjadi alat legitimasi, atau lebih buruk lagi, tameng dari intoleransi yang justru dibungkus dalam jargon kerukunan?

Saya teringat pada semangat awal lahirnya PBM tahun 2006, yang dahulu menyatukan dua kementerian: Agama dan Dalam Negeri.

Di sana terkandung semacam kesadaran bahwa urusan kerukunan tak bisa hanya diserahkan kepada satu entitas.

Ia adalah kerja kolaboratif, kerja lintas-sektor, kerja sosial-politik yang melibatkan negara, masyarakat sipil, pemuka agama, bahkan setiap individu.

Tetapi di Rancangan Perpres yang baru ini, nuansa itu menghilang.

Yang menonjol justru penguatan kelembagaan—bukan penguatan relasi sosial antarumat beragama.

Kita barangkali lupa, bahwa kerukunan bukan hasil dari keputusan formal. Ia bukan produk peraturan, apalagi hasil kerja satu lembaga.

Kerukunan adalah proses, kadang lambat, sering pula rapuh, yang dibangun dari saling percaya.

Dan saling percaya tak tumbuh dari kewenangan, melainkan dari kehadiran yang jujur, dari negara yang adil, dari masyarakat yang terbuka dan kritis.

Rancangan Perpres ini, jika dibiarkan dalam bentuknya yang sekarang, seperti ingin mengatakan bahwa kerukunan bisa diadministrasikan.

Seakan-akan konflik bisa diredam dengan rapat koordinasi. Seakan-akan hidup berdampingan bisa dicapai hanya dengan pendanaan dan surat tugas.

Apakah kita sedang membangun kerukunan, atau sedang membesarkan birokrasi?

Apakah kita sedang melindungi hak setiap warga untuk beribadah dan hidup tenang, atau sedang menciptakan entitas baru yang akan memonopoli tafsir tentang “ketenangan”?

Yang saya tahu, kerukunan tak datang dari lembaga. Ia datang dari kesadaran. Dan kesadaran, seharusnya, dimulai dari dalam diri kita sendiri.

Bukan dari forum. Bukan dari perpres.

Baca Juga  Dapat Vaksin Pertama Di Jateng, Ganjar: Rasanya Kaya Digigit Semut

Saya jadi teringat pada laporan-laporan warga yang dipaksa menutup tempat ibadahnya karena dianggap “mengganggu ketenteraman”.

Atau pada penduduk yang harus sembunyi-sembunyi berdoa, karena tetangga-tetangganya merasa mereka “lain”.

Pemerintah datang, bukan untuk melindungi yang minor, tapi untuk menenangkan mayoritas.

Barangkali itulah yang terlupa. Bahwa negara tak seharusnya menjadi penengah atas nama kerukunan, melainkan pelindung atas nama konstitusi.

Bahwa tugas negara bukan menjaga “kesepakatan bersama”, tapi menjaga hak setiap orang—termasuk ketika ia berbeda, termasuk ketika ia sendirian.

Perpres ini, jika jadi disahkan, akan menjadi babak baru dari sebuah niat lama: menyelesaikan masalah sosial dengan administrasi.

Tetapi kerukunan bukan hasil dari regulasi. Ia lahir dari pengakuan atas martabat. Ia tumbuh dalam kebebasan.

Dan seperti yang sering dilupakan oleh para penyusun kebijakan: kebebasan itu bukan milik mayoritas.

Gunoto Saparie adalah Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Orwil Jawa Tengah.