RISIKO TERSEMBUNYI DI PERSIMPANGAN JALAN

PADA sebuah persimpangan jalan padat di Jakarta, seorang pengendara dengan buta warna parsial terhenti sejenak.

Dari kejauhan, lampu lalu lintas tampak menyala terang, namun ia diliputi keraguan: apakah itu merah atau hijau?

Secara umum, posisi lampu memberi petunjuk—lampu di atas berarti merah, lampu di bawah hijau.

Tetapi dalam kondisi nyata di jalan raya, terutama saat malam hari atau ketika hujan, pantulan cahaya dan keterbatasan jarak pandang kerap membuat penafsiran menjadi keliru.

Ini bukan kisah rekaan. Dengan angka kejadian buta warna parsial sekitar 5–8 persen pada laki-laki, diperkirakan lebih dari delapan juta orang di Indonesia menghadapi tantangan serupa setiap hari di jalan raya.

Perhatian terhadap persoalan ini kini sampai ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam Putusan Nomor 149/PUU-XXIII/2025, majelis hakim memang menolak permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Namun, putusan itu justru memuat amanat penting. MK menegaskan bahwa pelaksanaan aturan tersebut harus memperhatikan keselamatan penyandang disabilitas visual.

loading...

Wakil Ketua MK Arsul Sani menyatakan, “Termasuk mereka yang mengalami buta warna parsial, dengan melengkapi sarana dan prasarana lalu lintas yang melindungi dan memberikan rasa aman bagi mereka semua,

termasuk menyediakan alat pemberi isyarat lalu lintas yang mengakomodasi kebutuhan penyandang defisiensi penglihatan warna.

”Berikut adalah sejumlah butir kunci dari putusan tersebut:

Fact Box

● Putusan MK Nomor 149/PUU-XXIII/2025● Perkara: Pengujian Materiil terhadap Pasal 25 ayat (1) huruf c Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.● Pemohon: Singgih Wiryono dan Yosafat Diva Bayu Wisesa (wartawan penyandang buta warna parsial).

● Pokok Permohonan: Menguji keabsahan sistem lampu lalu lintas (APILL) yang hanya mengandalkan warna, dinilai diskriminatif dan tidak menjamin keselamatan bagi penyandang disabilitas visual.

● Amar Putusan: Permohonan ditolak. Materi muatan ayat yang dimohonkan untuk diuji dinyatakan konstitusional.

● Pertimbangan Penting MK: Meski menolak permohonan, MK menegaskan bahwa implementasi UU wajib inklusif. Pemerintah harus mengakomodasi kebutuhan penyandang buta warna dalam kebijakan teknisnya.

● Implikasi Hukum: Putusan ini menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintah untuk segera menyusun dan merevisi peraturan teknis, standar nasional (SNI), serta menata ulang sarana lalu lintas yang aksesibel bagi semua.

Ketika Lampu Lalu Lintas Tak Bisa Dibaca Semua Mata

Jalan raya adalah ruang publik yang harus aman bagi semua.

Namun, ketika lampu lalu lintas (APILL) hanya mengandalkan kode warna merah, kuning, dan hijau, penyandang buta warna seakan terpinggirkan dari sistem keselamatan lalu lintas.

Padahal, konstitusi secara jelas menjamin hak setiap warga negara untuk memperoleh rasa aman dan perlindungan.

Mengabaikan kebutuhan kelompok ini sama artinya dengan membiarkan sebagian masyarakat menanggung risiko yang lebih besar di ruang publik yang semestinya setara dan inklusif.

Baca Juga  Hotel Ciputra Semarang Berbagi Kebahagiaan Ramadan dengan Ojek Online dan Masyarakat

Aksesibilitas di ruang publik bukanlah bentuk kemurahan hati negara, melainkan hak dasar setiap warga.

Lampu lalu lintas yang bisa dipahami penyandang buta warna harus dipandang sama pentingnya dengan rambu-rambu keselamatan lainnya yang wajib disediakan bagi seluruh pengguna jalan.

Analogi yang sederhana dapat menjelaskan hal ini: pembangunan ramp bagi kursi roda di sebuah gedung bukanlah fasilitas tambahan, melainkan syarat agar penyandang disabilitas dapat masuk dan beraktivitas.

Demikian pula, lampu lalu lintas yang dapat “dibaca” oleh difabel visual adalah prasyarat agar mereka bisa berpartisipasi dengan aman di jalan raya.

Ketika hak dasar itu diabaikan, dampaknya terasa nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Banyak penyandang buta warna merasa khawatir salah membaca isyarat lampu lalu lintas.

Kekhawatiran itu membuat sebagian enggan menyetir, bahkan ragu sekadar menyeberang jalan.

Akibatnya, kesempatan mereka untuk bekerja, belajar, atau bersosialisasi sering kali ikut terhambat.

Lebih jauh, rasa cemas dan tekanan mental yang harus ditanggung setiap kali berada di jalan raya menjadi bentuk ketidakadilan yang seharusnya bisa dihindari.

Jalan raya mestinya memberi rasa aman bagi semua, bukan menambah beban bagi sebagian warganya.

Untuk memastikan prinsip itu berjalan, diperlukan langkah nyata dari pemerintah melalui regulasi dan kebijakan yang jelas.

MK Sudah Bicara, Kini Giliran Pemerintah Membuktikan

Putusan Mahkamah Konstitusi memang hanya bersifat pertimbangan, bukan perintah eksekusi.

Namun, arah yang diberikan jelas: pemerintah perlu memastikan lampu lalu lintas dapat dipahami semua warga, termasuk penyandang buta warna.

Pertimbangan ini cukup kuat untuk dijadikan dasar revisi aturan teknis. Kementerian Perhubungan, misalnya, dapat memperbarui spesifikasi lampu lalu lintas melalui Keputusan Menteri.

Revisi ini tidak mengubah warna atau urutan yang berlaku, melainkan menambahkan elemen bentuk, simbol, atau pola cahaya agar lebih mudah dibedakan.

Langkah teknis tersebut bisa dilakukan tanpa harus mengubah undang-undang.

Pemerintah pusat cukup menetapkan standar baru yang wajib diikuti daerah.

Setelah regulasi diperbarui, kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, atau Bandung dapat segera menyiapkan lokasi dan desain uji coba.

Agar efektif, sosialisasi kepada masyarakat mutlak dilakukan, sehingga setiap pengendara memahami makna tambahan pada lampu lalu lintas yang baru.

Tanpa edukasi publik, inovasi apa pun berisiko menimbulkan kebingungan di jalan.

Dengan langkah-langkah terencana ini, amanat MK tidak berhenti sebagai wacana, melainkan benar-benar terwujud dalam sistem lalu lintas yang lebih inklusif.

Pertanyaannya, apakah penambahan simbol atau pola cahaya pada lampu lalu lintas sejalan dengan standar internasional?

Di sinilah Konvensi Wina 1968 tentang Lalu Lintas Jalan relevan untuk dikaji.

Konvensi Wina: Baku, Tapi Tak Membelenggu

Baca Juga  Sepekan Survei Indopol Pilkada Grobogan 2024 Pasangan Batur 59,5% - Hadi Sugeng 37,5%

Konvensi Wina 1968 tentang Lalu Lintas Jalan telah lama menjadi rujukan utama harmonisasi aturan lalu lintas bagi banyak negara, termasuk Indonesia.

Perjanjian internasional ini bertujuan memfasilitasi mobilitas kendaraan antarnegara sekaligus meningkatkan standar keselamatan jalan.

Dalam lampirannya, konvensi menetapkan standar minimum untuk lampu lalu lintas, yakni penggunaan tiga warna (merah, kuning, dan hijau) dengan tata letak yang seragam.

Untuk pemasangan vertikal, merah harus berada di posisi paling atas, disusul kuning di tengah, dan hijau di bawah.

Sementara dalam konfigurasi horizontal, merah menempati sisi kiri dan hijau di sisi kanan.

Pola ini dirancang untuk memastikan sinyal tetap mudah dikenali, termasuk oleh pengemudi yang mengalami kesulitan dalam membedakan warna.

Prinsip dasar yang dianut adalah setiap sinyal harus “clearly visible and distinct”—jelas terlihat dan mudah dibedakan secara universal.

Meski mengatur warna dan posisi dengan ketat, Konvensi Wina tidak menutup ruang bagi inovasi.

Dokumen ini pada dasarnya menetapkan standar minimal, sementara negara peserta tetap memiliki keleluasaan menambahkan penyesuaian sepanjang tidak bertentangan dengan tujuan utamanya.

Pendekatan melalui pemahaman atas semangat konvensi, yakni keselamatan dan keterbacaan universal membuka jalan bagi inovasi yang lebih inklusif bagi semua pengguna jalan.

Praktik di berbagai negara memperlihatkan bagaimana pendekatan ini diterapkan.

Jepang melengkapi lampu hijau dengan panah untuk menunjukkan arah yang boleh dilalui.

Di banyak negara Eropa dan Amerika Utara, lampu penyeberangan ditambah ikon orang berjalan atau tangan, sementara Inggris menambahkan sinyal audio.

Contoh-contoh ini menegaskan bahwa inovasi seperti simbol atau pola cahaya tidak bertentangan dengan Konvensi Wina, melainkan memperkuat tujuannya: menjadikan lalu lintas lebih aman dan inklusif.

Tantangannya kini bagi Indonesia adalah menerjemahkan ruang inovasi tersebut ke dalam solusi teknis yang nyata dan dapat segera diterapkan di lapangan.

Bentuk, Simbol, dan Suara: Bahasa Baru Lampu Lalu Lintas

Prinsip dasar yang perlu dipegang adalah redundansi informasi, yakni menghadirkan lebih dari satu isyarat untuk menyampaikan pesan yang sama.

Dengan cara ini, apabila satu lapisan informasi (misalnya warna) tidak dapat terdeteksi, lapisan lainnya (seperti bentuk atau simbol) tetap dapat menyampaikan pesan dengan jelas.

Analogi sederhana bisa dilihat pada rambu Stop berbentuk segi delapan dengan tulisan “STOP”.

Bahkan tanpa membaca tulisannya, bentuk segi delapan itu sudah cukup dikenali pengemudi.

Prinsip serupa dapat diterapkan pada lampu lalu lintas dengan menambahkan bentuk, simbol, atau pola cahaya di samping warna.

Berbagai solusi teknis dapat diterapkan untuk membuat lampu lalu lintas lebih inklusif.

Lampu merah, misalnya, bisa ditampilkan dalam bentuk segiempat atau diberi simbol “X” di dalamnya—sebuah tanda universal yang berarti “berhenti”.

Lampu kuning dapat dilengkapi ikon segitiga kuning dengan tanda seru ⚠️sebagai penanda peringatan atau dibuat berkedip,

Baca Juga  Kapolda Jateng Irjen Pol Ahmad Luthfi; 3 Pilar mewakili Negara

sementara lampu hijau diperjelas dengan panah arah ➡️. Untuk penyeberangan pejalan kaki, ikon orang berjalan atau tangan terbuka untuk “berhenti” sudah lazim digunakan di berbagai negara.

Di titik penyeberangan, tambahan berupa sinyal audio atau getaran pada tombol akan sangat membantu pengguna jalan yang kesulitan membaca warna.

Perkembangan teknologi LED menjadi angin segar bagi terwujudnya lampu lalu lintas yang inklusif.

Perangkat modern memungkinkan berbagai bentuk, simbol, dan pola cahaya yang rumit diprogram dalam satu unit panel yang sama dengan biaya relatif efisien.

Dengan dukungan teknologi ini, gagasan lampu lalu lintas ramah difabel bukan lagi sebatas wacana, melainkan solusi yang realistis untuk segera diwujudkan.

Buta Warna Menunggu Lampu Hijau Pemerintah

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 149/PUU-XXIII/2025 bukanlah akhir perkara, melainkan justru menjadi ujian nyata bagi komitmen pemerintah dalam memenuhi hak-hak konstitusional warga negaranya.

Negara diingatkan untuk tidak lagi abai terhadap kebutuhan kelompok penyandang disabilitas visual, sekecil apa pun itu.

Konstitusi sudah jelas menjamin setiap warga berhak atas rasa aman dan perlindungan, termasuk di jalan raya.

Pertanyaannya kini, apakah pemerintah benar-benar siap untuk menindaklanjuti putusan tersebut dengan kebijakan konkret, atau membiarkannya sekadar menjadi catatan hukum tanpa makna.

Implikasinya pun jelas. Jika ditindaklanjuti, Indonesia akan melangkah maju menuju sistem transportasi yang ramah bagi semua dan beradab.

Namun jika diabaikan, janji kesetaraan hanya berhenti sebagai retorika, sementara sebagian warga tetap menanggung risiko di jalan raya.

Faktanya, seluruh prasyarat sudah tersedia: ada landasan hukum melalui putusan MK, ada solusi teknis yang terbukti di banyak negara, dan ada kewenangan penuh Kementerian Perhubungan untuk memperbarui aturan.

Yang dibutuhkan kini hanyalah kemauan politik (political will) untuk mengubahnya menjadi kenyataan.

Dan kelak, di simpang jalan yang sibuk itu, seorang pengendara dengan buta warna tak lagi ragu: ia tahu kapan harus berhenti, dan kapan boleh melaju.

Muhammad Akbar, pernah menjabat Kadinas Perhubungan DKI Jakarta dan Dirut TransJakarta.