WHOOSH: SUDAH CEPAT, TAPI BELUM DEKAT

Kereta cepat Jakarta–Bandung (Whoosh) menandai babak baru dalam sejarah transportasi Indonesia.
Lintasan 142 kilometer itu memangkas waktu tempuh menjadi 45 menit, dengan kecepatan hingga 350 kilometer per jam.
Sebuah lompatan teknologi yang patut dibanggakan.
Namun, di balik prestise nasional itu, terselip pertanyaan mendasar:
bisakah kecepatan tinggi ini berujung pada sesuatu yang lebih penting keberlanjutan?
Tak sekadar soal ketangguhan teknologi, melainkan juga manfaat ekonomi dan jangkauan sosialnya bagi masyarakat.
Sebab, infrastruktur kelas dunia hanya bermakna bila benar-benar terhubung dengan kebutuhan riil warganya.
Padahal, jika ditelusuri lebih jauh, sejak awal kehadiran Whoosh lebih mencerminkan ambisi simbolik ketimbang kebutuhan mobilitas yang mendesak.
Ia muncul bukan karena adanya krisis transportasi Jakarta-Bandung, melainkan dari dorongan untuk membuktikan bahwa Indonesia setara dengan bangsa-bangsa maju pemilik kereta cepat.
Pencapaian teknologinya memang patut diapresiasi. Namun tanpa pemahaman utuh tentang kebiasaan bepergian masyarakat, kecepatan fantastis itu justru berpotensi sia-sia.
Konsekuensinya, pertumbuhan penumpangnya pun berjalan lambat sebuah ironi yang justru bertolak belakang dengan semangat akselerasi yang diusung.
Lantas, ke mana perginya para calon penumpang yang tidak tertarik ini?
Cepat Tapi Tak Praktis
Nyatanya, Whoosh hadir dengan segmentasi yang jelas: bukan untuk semua kalangan.
Tarif premium dan lokasi stasiun yang jauh dari pusat kota—ditambah integrasi antarmoda yang masih terbatas—membuatnya lebih cocok untuk segmen tertentu.
Tak heran bila para pelaju harian tetap setia pada travel/shuttle atau bus antarkota.
Alasannya sederhana: selain lebih terjangkau, pilihan moda tersebut menawarkan fleksibilitas jadwal dan layanan door-to-door yang memberikan kepraktisan yang sulit tergantikan.
Di sisi lain, pengguna mobil pribadi juga belum banyak beralih. Daya tarik utama tetap pada kebebasan mobilitasnya: bisa berangkat sesuka waktu, mampir di mana saja, serta membawa barang tanpa batasan.
Tawaran 45 menit di atas rel pun terasa kurang menggiurkan ketika dihadapkan pada tarif tinggi, waktu tunggu, dan kerepotan akses menuju stasiun.
Yang ironis, kecepatan tinggi Whoosh itu pun kehilangan makna ketika perjalanan dihitung dari rumah hingga tujuan akhir—total perjalanan justru kerap tak jauh beda dengan berkendara pribadi.
Bukan APBN, Tapi Tetap Publik
Fakta di lapangan menunjukkan jumlah penumpang Whoosh masih jauh dari target. Kerugian operasional pun tak terelakkan.
Menteri Keuangan memang bersikukuh bahwa beban ini bukan tanggungan APBN, melainkan sepenuhnya berada di pundak korporasi.
Namun realitanya lebih kompleks. Sebagai konsorsium yang didominasi BUMN, kerugian Whoosh pada akhirnya berpotensi berdampak tidak langsung pada publik.
Misalnya mulai dari tertundanya proyek strategis lain yang lebih mendesak, hingga permohonan Penyertaan Modal Negara (PMN) untuk menutupi defisit.
Dampaknya bisa merambat ke berbagai sisi. Kualitas layanan berisiko stagnan, investasi baru terhambat, dan kepercayaan publik semakin terkikis.
Dengan kata lain, meskipun negara berusaha menjaga jarak, gelombang efek finansial Whoosh pada akhirnya tetap akan sampai ke masyarakat secara langsung maupun tidak.
Saat Whoosh Menjawab dengan Mutu
Meski dibayangi persoalan keekonomian, sisi lain Whoosh justru mencatatkan prestasi.
Di balik berbagai sorotan kritis, mutu layanan Whoosh justru patut diacungi jempol.
Kenyamanan kabin yang senyap, desain kursi yang ergonomis, hingga ketepatan jadwal menjadi penanda baru standar transportasi darat Indonesia.
Tak kalah penting, kesigapan awak dan keandalan operasionalnya membuktikan kemampuan negeri ini dalam mengelola teknologi mutakhir setara kelas dunia.
Dalam persepsi publik, Whoosh telah melampaui wujudnya sebagai sekadar kereta cepat. Ia menjelma menjadi simbol harapan bagi layanan publik yang lebih berkualitas.
Citra positif inilah yang justru menjadi aset berharga di tengah tekanan finansial sebuah modal sosial yang dapat dipertahankan, sambil menunggu aspek komersialnya sepenuhnya membaik.
Menjadikan Whoosh Lebih dari Sekadar Transportasi
Meski dibayangi tantangan finansial, Whoosh belum kehilangan harapan.
Kunci utamanya terletak pada kemampuan pemerintah dan operator dalam merancang strategi jangka panjang yang adaptif.
Bukan sekadar mengejar break-even point, melainkan menciptakan nilai tambah berkelanjutan.
Caranya: memperluas basis pengguna, menguatkan konektivitas antarmoda, serta mengoptimalkan potensi ekonomi di sekitar jalur dan kawasan stasiun.
Dengan strategi tepat, Whoosh bisa menjadi lokomotif baru bagi pertumbuhan kawasan.
Untuk mewujudkan strategi tersebut, langkah pertama dan paling krusial adalah membenahi mata rantai yang selama ini terputus: konektivitas.
Lokasi Halim dan Tegalluar memang bukan di jantung kota, namun itu seharusnya bukan masalah bila tersedia angkutan pengumpan yang nyaman, andal, dan terintegrasi.
LRT di Halim memang sudah beroperasi, tapi integrasinya masih jauh dari ideal.
Waktu tunggu belum sinkron, informasi terbatas, dan proses berpindah moda masih terasa rumit bagi penumpang.Jalur Jakarta–Bandung bukan sekadar koridor bisnis, tapi juga kawasan wisata yang terus berkembang.
Inisiatif paket terpadu semacam “Whoosh + Glamping Lembang” atau “Whoosh + Heritage Trip Asia-Afrika” dapat menjadi magnet bagi segmen wisatawan urban yang mendambakan perjalanan singkat tanpa repot.
Kelebihan utama Whoosh di sini jelas: mobilitas tinggi yang memampatkan waktu perjalanan tanpa mengorbankan kenyamanan.
Peluang serupa terbuka lebar di segmen korporasi.
Kawasan Tegalluar bisa dikembangkan menjadi pusat konferensi terpadu. Rapat, pelatihan, hingga gathering perusahaan dapat dilakukan di Bandung tanpa perlu menempuh perjalanan jauh.
Konsep “meeting out of town” ini menarik bagi perusahaan yang mengejar efisiensi sekaligus suasana kerja yang lebih segar dan inspiratif.
Jangan Biarkan Whoosh Jadi Barang Pajangan
Kritik terhadap Whoosh bukanlah bentuk penolakan, melainkan pengingat bahwa ada hal yang perlu dibenahi.
Proyek ini tetap menyimpan masa depan cerah—asal tidak dibiarkan menjadi moda transportasi eksklusif yang cuma dinikmati segelintir kalangan atau sekadar jadi pengalaman sekali coba.
Masa depan Whoosh pada akhirnya ditentukan oleh kemampuannya melayani kebutuhan riil para pelaju harian yang mengutamakan keandalan, kecepatan, dan keterjangkauan.
Tanpa langkah korektif yang berarti, Whoosh berisiko terjebak dalam statusnya sebagai sekadar monumen teknologi.
Padahal, cita-cita besarnya justru terletak pada potensinya sebagai katalisator transformasi logistik dan pariwisata di Pulau Jawa terutama bila jalurnya kelak membentang hingga Surabaya dan didukung oleh integrasi sistem logistik nasional yang lebih solid.
Whoosh tak boleh berhenti sebagai simbol kemajuan yang hanya bisa dinikmati dari kejauhan.
Ia harus bergerak melampaui status proyek prestisius, dan menjelma menjadi moda andalan yang hadir dalam denyut kehidupan masyarakat sehari-hari.
Masa depan transportasi modern Indonesia bergantung pada keberanian untuk membenahi, mendekatkan, dan memanusiakan layanan publik—bukan sekadar membanggakan kecepatannya.
Sebab bila tidak, Whoosh akan tinggal nama: cepat, canggih, tapi asing dari kebutuhan rakyat.
