MENGAKHIRI 20 TAHUN TARIF MURAH TRANSJAKARTA: DARI POPULISME MENUJU KEBERLANJUTAN

Selama dua puluh tahun, tarif TransJakarta seolah dikunci pada angka Rp3.500.
Angka ini lama dipersepsikan sebagai simbol keberpihakan negara terhadap akses transportasi publik yang terjangkau.
Bagi jutaan warga, tarif murah itu terasa sebagai bentuk perlindungan sosial negara di tengah dinamika kehidupan kota yang kian mahal.
Namun waktu pelan-pelan memperlihatkan sisi lain dari kebijakan ini.
Ketika biaya operasional terus naik—dari suku cadang, perawatan armada, hingga teknologi tiket—tarif yang tak berubah justru menjadi penanda kebijakan yang menutup mata terhadap realitas yang berubah begitu cepat.
Tarif ini ditetapkan pada 2005, saat Jakarta baru merintis sistem BRT. Kala itu struktur biaya jauh lebih ringan: bahan bakar lebih bersahabat, jaringan belum luas, dan beban infrastruktur relatif terbatas.
Pemerintah masih memiliki ruang fiskal untuk menunda koreksi tarif. Dua dekade berlalu, lanskap mobilitas berubah sepenuhnya.
Armada bertambah, rute meluas, tuntutan teknologi meningkat, dan biaya pemeliharaan berjalan mengikuti dinamika pasar.
Ketimpangan antara tarif lama dan kebutuhan riil operasional hari ini semakin terpaut jauh.
Sekilas, tarif murah memang menyenangkan. Namun kebijakan publik tidak boleh berhenti pada apa yang menyenangkan.
Ia diuji pada satu pertanyaan utama: apakah kebijakan tersebut rasional, dan bagian dari sistem yang berkelanjutan.
Mengapa TransJakarta Perlu Tarif yang Lebih Rasional
Pihak yang paling merasakan dampak dari tarif yang tak berubah adalah PT TransJakarta.
Sebagai BUMD, perusahaan ini menjalankan layanan yang tidak boleh berhenti sehari pun.
Mengatur armada yang terus bertambah, menyusun jadwal, memastikan ketersediaan sopir, menjaga keamanan halte, dan merespons jutaan perjalanan warga setiap hari.
Semua itu adalah tanggung jawab rutin yang sarat biaya.
Dalam operasinya, TransJakarta bergantung pada dua sumber pendapatan: tiket dan subsidi.
Di atas kertas keduanya terlihat setara, tetapi dalam praktiknya berbeda jauh.
Pendapatan tiket menjadi arus kas harian yang fleksibel.
Setiap rupiah bisa segera dipakai untuk perawatan darurat, penggantian komponen, atau perbaikan yang tak bisa menunggu proses birokrasi.
Fleksibilitas inilah yang membuat operator mampu merespons kebutuhan layanan yang ritmenya diukur menit, bukan bulan.Subsidi bekerja sebaliknya.
Prosesnya panjang dan politis: proposal teknis, pembahasan dengan dinas, dan negosiasi dengan DPRD.
Pencairannya pun tak selalu tepat waktu. Ketika kebutuhan bersifat harian sementara dana mengikuti siklus tahunan, terciptalah jarak yang sulit dijembatani.
Dalam kondisi ini, tarif yang tak kunjung menyesuaikan berubah menjadi penghambat yang membatasi kemampuan perusahaan menjaga kualitas layanan.
Bagi organisasi sebesar TransJakarta, pendapatan tiket yang kuat jauh lebih menyehatkan daripada subsidi besar yang datang lambat.
Tarif yang rasional memberi ruang untuk bekerja lebih profesional.
Ketergantungan penuh pada subsidi membuat perusahaan berjalan dengan ritme yang terseret prosedur, bukan kebutuhan penumpang.
Pilihan Sulit Gubernur Saat Tarif Murah Menggerus APBD
Di sisi lain, Gubernur Jakarta menghadapi realitas fiskal yang semakin kompleks.
Tuntutan belanja kota meningkat: pengendalian banjir, perbaikan trotoar, pembangunan MRT lanjutan, layanan kesehatan, pendidikan, ruang hijau, hingga integrasi antarmoda.
Semua memerlukan ruang fiskal yang stabil.Subsidi transportasi publik terus membesar.
Transjakarta, MRT, dan LRT menyerap dana yang signifikan. Ruang fiskal, sekuat apa pun, tidak bisa menanggung beban yang terus mengembang tanpa konsekuensi.
Kota akhirnya dipaksa memilih: memperbesar subsidi transportasi atau mengurangi alokasi sektor lain seperti drainase, ruang publik, dan layanan dasar.
Dalam konteks ini, tarif bukan lagi sekadar soal berapa warga harus membayar.
Ia terkait langsung dengan kemampuan pemerintah menjaga keseimbangan layanan publik.
Tarif yang rasional memberi ruang bagi kota untuk berkembang tanpa mengorbankan sektor lain.
Dalam jangka panjang, langkah ini justru lebih berpihak kepada masyarakat dibanding mempertahankan harga murah yang perlahan melemahkan daya dukung fiskal.
Ketika DPRD Terjebak dalam Dilema Tarif dan Tekanan Elektoral
DPRD berada dalam posisi dilematis. Kenaikan tarif hampir selalu dipersepsikan negatif.
Anggota dewan mudah dicap tidak berpihak, meski argumen mereka berbasis data. Akibatnya, pembahasan tarif sering mandek oleh kalkulasi elektoral, bukan pertimbangan kebijakan yang rasional.
Padahal fungsi utama DPRD adalah memastikan subsidi tepat sasaran. Subsidi menyeluruh memang populer, tetapi tidak adil.
Tugas DPRD adalah memisahkan kebijakan yang sekadar menarik secara politik dengan kebijakan yang benar-benar dibutuhkan publik.
Tanpa keberanian ini, transportasi publik akan terus terjebak dalam kebijakan populis yang rapuh secara fiskal.
Murah Tidak Cukup: Warga Ingin Layanan yang Benar-Benar Baik
Warga wajar menyukai tarif murah. Namun pengalaman menggunakan transportasi publik bukan hanya persoalan berapa yang mereka bayar.
Yang dirasakan setiap hari adalah kualitas layanan: bus datang tepat waktu, halte nyaman, dan perjalanan yang bisa diandalkan.
Kekhawatiran bahwa kenaikan tarif akan mendorong warga beralih ke motor atau ojek online sering muncul.
Namun tambahan biaya Rp1.500–Rp2.500 jarang menjadi faktor tunggal yang mengubah pilihan moda. Yang menentukan adalah konsistensi layanan.
Jika kualitas meningkat, masyarakat cenderung menerima penyesuaian.
Idealnya, penyesuaian tarif disertai cara yang lebih adil dalam menentukan siapa yang layak dibantu.
Keadilan tarif terletak pada ketepatan sasaran. Bukan mempertahankan tarif murah untuk semua, melainkan melindungi yang benar-benar membutuhkan.
Pelajar, difabel, lansia, dan pekerja informal dapat dibantu melalui skema khusus. Jam non-sibuk dapat diberi tarif lebih rendah. Mikrotrans bisa tetap gratis untuk memperkuat akses awal–akhir perjalanan.
Mengapa Tarif Rp3.500 Kian Janggal di Tunai dan Digital
Ada persoalan yang jarang dibicarakan: angka Rp 3.500 tidak efisien.
Dalam sistem pembayaran modern—kartu elektronik hingga QRIS—format tarif ideal adalah kelipatan seribu. MRT, LRT, dan KRL telah menerapkan ini.
Pecahan Rp 500 semakin langka. Akibatnya, transaksi tunai sulit dan sistem digital makin kompleks.
Di banyak kota dunia, pembulatan tarif bukan strategi menaikkan pendapatan, melainkan langkah untuk mempercepat transaksi dan meningkatkan efisiensi sistem.
Tarif Rp 4.000 atau Rp 5.000 lebih selaras dengan standar modern dan lebih mudah diintegrasikan.
Saatnya Melepaskan Warisan Tarif demi Transportasi Jakarta yang Lebih Baik
Tarif Rp 3.500 adalah warisan dari masa awal TransJakarta. Ia berjasa membawa jutaan warga ke tempat kerja, sekolah, dan rumah.
Namun mempertahankannya selamanya bukanlah penghormatan. Justru itu menghambat transformasi layanan.
Jakarta hari ini tidak membutuhkan tarif yang sengaja ditahan rendah, melainkan yang rasional dan subsidi yang tepat sasaran.
PT TransJakarta harus diberi ruang bergerak tanpa terbelenggu prosedur, sementara APBD dijaga tetap kuat.
DPRD perlu keluar dari jebakan populisme tarif. Warga berhak atas layanan transportasi yang layak dari kota yang berani menyesuaikan tarif dengan realitas biaya.
Kebijakan tarif bukan sekadar soal angka. Ia mencerminkan pilihan tentang jenis kota yang ingin dibangun: kota yang berani menata sistemnya secara sehat atau kota yang terus menunda keputusan karena takut kehilangan popularitas.
Sudah saatnya Jakarta menyesuaikan tarif berdasarkan realitas. Hanya dengan itu transportasi publik dapat berdiri kokoh untuk generasi mendatang.
Muhamad Akbar, pernah menjabat Dirut TransJakarta, dan Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta.
