MENATAP FOTO KH AHMAD DAHLAN
Di suatu pagi yang teduh, saya duduk di serambi masjid kecil di sudut kota Yogyakarta.
Masjid itu tidak besar, tetapi bersih dan sederhana, seperti hendak mengatakan sesuatu yang lebih dalam daripada kemegahan.
Di dindingnya tergantung foto K.H. Ahmad Dahlan, tampak lelah tetapi bersinar, seperti seseorang yang habis berjalan jauh—dan masih ingin berjalan lagi.
Muhammadiyah, sebagaimana kita tahu, adalah sebuah gerakan.
Kata “gerakan” di situ bukan hiasan. Ia hidup dari denyut pembaruan: tajdid.
Sejak awal, bukan sekadar sebuah organisasi dakwah, tetapi laboratorium pikiran.
Ahmad Dahlan tidak sekadar memimpin salat; ia memimpin cara berpikir. Ia membawa tafsir baru, bukan karena ingin berbeda, tetapi karena zaman memang menuntut cara baca yang berbeda atas Islam, dan atas dunia.
Namun kini, suara-suara lirih terdengar dari dalam tubuhnya sendiri: tajdid Muhammadiyah telah mandeg. Mengapa?
Ironi
Pertanyaan ini mengandung ironi yang menyakitkan.
Muhammadiyah pernah sangat maju untuk zamannya: mendirikan sekolah modern ketika kolonialisme masih mencengkeram, membangun rumah sakit saat sebagian umat masih sibuk memperdebatkan najis mutawassithah.
Akan tetapi hari ini, sebagian kadernya bahkan bingung membedakan pembaruan dengan sekadar adaptasi.
Ada yang menyalahkan formalisasi.
Ketika institusi membesar, gerakan melambat. Ia mengeras, menjadi sistem yang disibukkan oleh dirinya sendiri.
Maka tajdid tidak lagi sebuah napas yang organik, melainkan daftar kerja birokratik yang menunggu SK dan rapat pleno.
Lalu ada juga yang menunjuk pada kelelahan ideologis.
Setelah sekian lama menekankan “kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah”, sebagian intelektual Muhammadiyah merasa berputar-putar di lingkaran yang sama.
Tafsir baru tidak muncul karena bacaan lama dianggap cukup.
Diskursus tajdid macet bukan karena tak ada masalah baru, tetapi karena perangkat untuk menafsirkannya tak ikut diperbarui.
Tetapi mungkin juga, yang kita sebut mandeg itu adalah kekecewaan atas ekspektasi kita sendiri.
Kita menginginkan tajdid seperti dulu: radikal, mengejutkan, mengguncang.
Padahal zaman berubah, dan barangkali pembaruan hari ini tidak lagi berupa gebrakan, tetapi justru dalam menjaga kewarasan di tengah arus kebingungan.
Ketika sebagian umat tenggelam dalam populisme agama, Muhammadiyah justru bersetia pada rasionalitas.
Itu pun sejenis tajdid, meskipun tanpa suara keras.Goethe pernah menulis, “Segala yang tetap akan mati.”
Maka tajdid yang sejati bukan tentang program, tetapi tentang sikap: gelisah terhadap kemapanan, bahkan kemapanan diri sendiri.
Bila Muhammadiyah ingin hidup sebagai gerakan, maka ia harus kembali bersedia tidak nyaman.
Membaca ulang teks-teks suci, menyoal ulang tradisi yang sudah terlalu akrab, dan barangkali—membantah dirinya sendiri.
Di tengah dunia yang berubah cepat, mungkin kita tidak membutuhkan Muhammadiyah yang besar, tetapi Muhammadiyah yang berani berpikir ulang.
Masjid di sudut Yogyakarta itu masih berdiri. Foto K.H. Ahmad Dahlan masih menggantung.
Dan saya, masih duduk, menatapinya, mencoba mendengar ulang apa yang ingin ia katakan.
Gunoto Saparie adalah Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Orwil Jawa Tengah