PENDEKATAN KONTEKSTUAL ATASI PERMUKIMAN KUMUH DI INDONESIA
Beberapa dasawarsa terakhir ini, perhatian terhadap masalah permukiman kumuh di Indonesia semakin meningkat, terutama karena keberadaannya yang tidak dapat dihindarkan di kota-kota besar negara berkembang.
Permukiman kumuh merupakan fenomena kompleks yang muncul akibat proses urbanisasi yang cepat dan tidak terkelola dengan baik, sehingga memerlukan penanganan yang menyeluruh dan terpadu.
Kondisi dan karakteristik permukiman kumuh sangat bervariasi, tidak hanya antara satu kota dengan kota lainnya, tetapi juga antar lokasi di dalam kota yang sama.
Oleh karena itu, pendekatan penanganannya harus disesuaikan dengan konteks lokal agar efektif dan berkelanjutan.
Kebijakan dan program penanganan permukiman kumuh di Indonesia telah digariskan melalui berbagai regulasi dan inisiatif pemerintah, seperti Undang-Undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, serta program-program seperti Kawasan Siap Bangun (KASIBA) dan Lingkungan Siap Bangun (LISIBA).
Namun, kebijakan tersebut seringkali masih bersifat umum dan kurang mempertimbangkan perbedaan kondisi lokal yang sangat khas di setiap daerah.
Pendekatan yang sama diterapkan di berbagai daerah dengan kondisi yang berbeda, sehingga efektivitasnya menjadi terbatas.
Oleh sebab itu, pemahaman mendalam terhadap karakteristik pertumbuhan wilayah dan kota sangat penting sebelum menetapkan kebijakan dan program yang tepat.
Urbanisasi Minus Industrialisasi
Situasi urbanisasi di Indonesia berbeda secara signifikan dengan negara-negara Barat.
Pertama, posisi Indonesia sebagai negara berkembang dalam konstelasi ekonomi dunia berbeda jauh dari negara Barat yang sudah maju secara ekonomi dan teknologi.
Kedua, pertumbuhan penduduk kota di Indonesia sangat cepat, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan kota di negara Barat.
Ketiga, lapangan kerja di sektor industri sangat terbatas dan tidak mampu menampung kebutuhan tenaga kerja yang terus meningkat, sehingga banyak penduduk yang terpaksa tinggal di permukiman kumuh.
Keempat, tingkat teknologi yang dimiliki Indonesia juga berbeda, memengaruhi proses industri, komunikasi, kesehatan, dan aspek kehidupan lain.
Keempat faktor ini menyebabkan proses urbanisasi di Indonesia sering disebut sebagai “Urbanisasi Tanpa Industrialisasiā.
Permukiman kumuh merupakan salah satu akibat dari urbanisasi yang tinggi tersebut dan harus dianalisis dengan pendekatan yang sesuai konteks lokal, bukan hanya mengadopsi teori Barat yang terbukti kurang efektif.
Misalnya, penggusuran permukiman kumuh tanpa solusi alternatif yang memadai justru menimbulkan permukiman kumuh baru di lokasi lain.
Hal ini menunjukkan bahwa penanganan permukiman kumuh tidak boleh hanya bersifat fisik dan mekanistik, tetapi harus memperhatikan aspek sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat yang tinggal di dalamnya.
Nilai Fungsional Rumah
Perumahan tidak boleh dipandang sekadar sebagai komoditas atau barang konsumsi yang hanya dinilai dari kuantitas fisik dan mekanisme pasar.
Perumahan adalah sebuah proses dan aktivitas yang memiliki makna sosial dan ekonomi bagi penghuninya.
Menurut J.F.C. Turner, perumahan harus dilihat sebagai “verb” (proses), bukan hanya “noun” (benda).
Oleh karena itu, nilai perumahan harus mencakup nilai kegunaan bagi manusia, bukan hanya nilai material fisiknya.
Contohnya, rumah permanen yang memenuhi standar bisa jadi kurang bermakna dibandingkan gubuk non permanen yang dekat dengan lapangan kerja dan pusat aktivitas ekonomi.
Konsep perumahan sebagai tempat berlindung sekaligus kebutuhan sosial sangat berpengaruh pada kesehatan, kesejahteraan, dan fungsi keluarga.
Kebijakan perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah harus menyediakan berbagai alternatif, seperti peremajaan kota, penyediaan kavling siap bangun (“site and services”), dan pembangunan infrastruktur pendukung.
Namun, pasokan perumahan formal dari pemerintah maupun swasta masih belum mampu menjangkau seluruh kebutuhan masyarakat berpenghasilan rendah dan sangat rendah.
Program-program seperti Kawasan Siap Bangun (KASIBA) dan Lingkungan Siap Bangun (LISIBA) juga belum sepenuhnya mampu memenuhi kebutuhan tersebut secara optimal.
Hal ini menunjukkan perlunya evaluasi dan penguatan kebijakan serta skema pembiayaan yang lebih inklusif agar masyarakat berpenghasilan rendah dapat lebih mudah mengakses hunian yang layak dan terjangkau.
Memperhitungkan Aspek Ekonomi Penanganan permukiman kumuh perlu disesuaikan dengan status lahan dan legalitasnya.
Jika permukiman kumuh tersebut legal dan sesuai dengan rencana tata ruang, maka dapat diperbaiki melalui program perbaikan kampung, perbaikan lingkungan perumahan, peremajaan kota, bedah kampung, atau bedah rumah.
Namun, jika permukiman tersebut liar (squatter), maka diperlukan program khusus seperti relokasi atau resettlement.
Relokasi harus dirancang dengan mempertimbangkan akses masyarakat terhadap pusat-pusat kegiatan ekonomi agar tidak menimbulkan masalah baru, seperti kesulitan transportasi dan biaya hidup yang tinggi.
Contohnya, di Jakarta, permukiman kumuh yang berada di bantaran sungai sulit dihilangkan karena masyarakat yang bermukim di sana ingin tetap dekat dengan pusat ekonomi, sementara relokasi ke rusunawa yang jauh dari pusat kota menimbulkan masalah baru.
Perumahan harus dipandang sebagai proses yang dinamis dan responsif terhadap perubahan sosial dan ekonomi masyarakat.
Oleh karena itu, perlu dibuka peluang bagi berbagai alternatif pengadaan perumahan dan perbaikan lingkungan.
Pemerintah tidak lagi hanya berperan sebagai penyedia perumahan, tetapi juga sebagai pengatur dan motivator yang mendorong partisipasi berbagai pihak, termasuk lembaga swadaya masyarakat, koperasi, yayasan sosial, organisasi profesi, dan masyarakat itu sendiri.
Semua pemangku kepentingan harus berperan aktif sesuai dengan potensi dan kapasitas masing-masing, dengan tetap memperhatikan rencana tata ruang yang berlaku.
Secara ringkas, penanganan permukiman kumuh di Indonesia memerlukan pendekatan yang komprehensif dan kontekstual, yang mengintegrasikan pembangunan fisik, sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat.
Kebijakan yang adaptif dan partisipatif menjadi kunci untuk mengatasi permasalahan permukiman kumuh secara berkelanjutan dan bermartabat.
Upaya ini harus melibatkan sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan berbagai pemangku kepentingan lainnya agar tercipta lingkungan permukiman yang layak huni, sehat, aman, dan produktif bagi seluruh lapisan masyarakat.
Dr. Ir. Mohammad Agung Ridlo, M.T.Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota (Planologi) Fakultas Teknik Unissula Semarang.
Sekretaris I Bidang Penataan Kota, Pemberdayaan Masyarakat Urban, Pengembangan Potensi Daerah, dan Pemanfaatan SDA, ICMI Orwil Jawa Tengah.
Sekretaris Umum Satupena Jawa Tengah