ISLAM YANG MENDENGARKAN
Kita hidup di tengah zaman yang gaduh.
Di dalam kegaduhan itu, suara-suara keras sering menang bukan karena benarnya, tetapi justru karena nyaringnya.
Dalam soal agama, terutama Islam, nyaring itu bisa menjelma dalam bentuk klaim: bahwa hanya satu tafsir yang benar, satu aliran yang sah, satu jalan yang lurus.
Akan tetapi, bukankah agama, sebagaimana hidup, selalu lahir dari keraguan dan pencarian? Nabi pun bukan tidak pernah gelisah.
Wahyu yang turun pertama justru menyuruhnya membaca—mencari, menyimak, dan menafsir.
Di tanah ini, kita menyaksikan sejarah yang tak tunggal. Islam datang dengan pelbagai wajah: ada yang datang lewat tarekat yang lembut, ada yang lewat fikih yang ketat, ada yang lewat cerita-cerita para saudagar di pelabuhan.
Dari Aceh sampai Papua, kita temukan Islam yang bertumbuh dalam banyak warna.
Ia tak pernah seragam. Akan tetapi, justru di situlah daya hidupnya.
Namun belakangan, sebagian dari kita gemar membingkai Islam dalam satu bentuk yang kaku.
Seperti patung marmer yang dipahat tuntas: tak boleh ditambah, tak boleh diubah.
Yang berbeda, dituduh menyimpang. Yang bertanya, dicurigai. Yang menafsir ulang, dianggap mengancam. Apakah yang sebenarnya terjadi?
Rapuh Iman Menolak Dialog
Barangkali ini karena ketakutan. Sebagaimana segala yang keras berasal dari sesuatu yang rapuh, begitu pula iman yang enggan berdialog. Ia takut retak.
Ia takut kalah oleh pendapat lain.Padahal dalam Al-Quran, kita tahu, Tuhan tak menyuruh manusia menjadi satu.
“Dan seandainya Tuhanmu menghendaki, niscaya Dia menjadikan manusia satu umat (saja). Akan tetapi, mereka senantiasa berselisih.” Itu bukan kutukan.
Itu adalah pengakuan atas kodrat manusia.Islam yang inklusif tidak berarti Islam yang lemah.
Ia bukan Islam yang tak punya pendirian. Justru ia Islam yang percaya diri.
Yang tahu bahwa kebenaran tidak butuh teriakan untuk hidup.
Yang mengerti bahwa Tuhan tidak kecil: Ia tidak akan runtuh hanya karena manusia berbeda pendapat tentang-Nya.
Kita perlu mengingat ulang bahwa para ulama dulu tak segan berbeda.
Imam Syafi’i bisa berubah pendapat saat pindah dari Irak ke Mesir.
Al-Ghazali bisa berdialog dengan filsafat. Ibnu Arabi bisa berkata bahwa Tuhan dapat ditemukan dalam banyak wajah.
Mereka tidak menakutkan satu sama lain dengan label sesat.Islam inklusif adalah Islam yang mendengarkan.
Seperti Nabi Muhammad yang sabar mendengarkan kata-kata kaum Quraisy meskipun dibenci dan penuh caci-maki.
Seperti ayat-ayat yang turun perlahan, seolah memberi ruang bagi akal dan hati manusia untuk mencerna.
Dan barangkali, di zaman ketika kata-kata sering menjadi senjata, yang paling Islami adalah justru diam sejenak.
Lalu berkata pelan-pelan: aku tak tahu seluruh kebenaran.
Akan tetapi, aku bisa duduk bersama mereka yang berbeda. Mungkin dari sana, iman tumbuh dengan lebih teduh.
Gunoto Saparie adalah Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Orwil Jawa Tengah