BELAJAR DARI METODOLOGI PESANTREN TRADISIONAL, SOAL MODUS MEMILIKI ATAU MENJADI
Di ruang kecil yang dindingnya mengelupas, suara lirih santri mengulang kalimat dalam bahasa Arab yang tak seluruhnya ia pahami pada awalnya.
Di depannya, sang kiai duduk bersandar pada kitab yang warnanya telah pudar, tetapi maknanya terus menyala.
Itulah bandongan. Atau barangkali sorogan: saat santri membaca sendiri, sang guru mendengarkan, kadang membetulkan, kadang hanya diam.
Di sela-selanya, halaqah: lingkaran kecil tempat ilmu bersarang dan berkembang, bukan hanya dari mulut guru ke telinga murid, tapi dari nalar ke nalar, dari hati ke hati. Itu bukan sekadar metode. Itu cara menjadi.
Metode yang bukan hanya mendorong santri memiliki ilmu pengetahuan yang diajarkan, melainkan cara mendorong mereka menjadi ilmuwan dengan segenap integritas keilmuannya: ulama dalam makna yang sebenarnya.
Kita menyebutnya metode pengajaran tradisional. Tetapi kata “tradisional” terlalu sering disalahpahami sebagai “kuno” — bahkan “usang”.
Padahal di balik bentuknya yang sederhana, tersembunyi kerumitan pedagogis yang tak kalah dari sistem pendidikan manapun: ada ketekunan, kedekatan personal, bahkan otonomi belajar.
Tak ada seragam. Tak ada kurikulum baku dari pusat. Namun ada jiwa yang tumbuh pelan-pelan, mendengar, memahami, menghafal, mempertanyakan.
Tiga Warisan Ulama
Bandongan, sorogan, dan halaqah adalah warisan ulama Nusantara, yang tak hanya mewariskan isi kitab, tapi juga cara memperlakukannya.
Kitab kuning bukan hanya dibaca, tetapi diladeni. Santri tidak sekadar menghafal, tapi mengurai, menelaah, kadang juga membantah dengan adab.
Dan di sinilah letak keunikannya: metode ini mencetak murid yang aktif tanpa melawan, kritis tanpa kehilangan hormat.
Saya sering teringat masa kecil saya di Tlahab, Kendal, ketika membaca pelan-pelan kalimat Arab gundul dari kitab yang warnanya sepuh, ditulis berabad-abad lalu.
Di sampingnya, sang kiai mendengarkan dalam diam, kadang mengangguk, kadang membetulkan pelafalan.
Itulah sorogan: sebuah upacara sunyi antara guru dan murid, seperti pengakuan dalam ruang pengampunan.
Di ruang sebelah, sekelompok santri duduk melingkar mengaji bersama; halaqah, mereka menyebutnya.
Di langgar depan, seorang kiai membaca kitab di hadapan puluhan santri yang mencatat dengan kepala menunduk: bandongan, tradisi yang diwariskan dari abad ke-16, mungkin lebih lama.
Tiga metode. Tiga dunia kecil yang tak berubah di tengah dunia besar yang berubah terlalu cepat. Dan seperti semua hal yang bertahan lama, ia menyimpan kekuatan. Tetapi, sesungguhnya, juga kelemahan.
Bandongan, misalnya, mengajarkan kedisiplinan mendengar. Ia membiasakan murid untuk sabar, menyimak, dan menulis, dalam dunia yang kini lebih gemar berbicara dan membalas.
Di dalamnya, guru menjadi pusat, seperti matahari yang mengitari orbit ilmu.
Tetapi di balik kekuatannya itu, ada tanya: seberapa dalam pemahaman yang lahir dari hanya mendengar? Apakah semua santri yang duduk di hadapan kiai benar-benar paham, atau hanya menyalin tanpa mengerti? Sorogan lebih personal.
Ia memaksa santri untuk bersuara, untuk bertanggung jawab atas bacaannya. Ada ruang untuk salah dan dibetulkan. Di situ muncul keberanian, dan kadang rasa malu.
Tetapi juga ketimpangan. Sebab keberanian itu tidak selalu lahir merata. Ada santri yang terus mencoba, ada pula yang menghindar, tenggelam dalam kerumunan.
Halaqah adalah bentuk paling sosial dari ketiganya. Diskusi terbuka, kadang panas, kadang hening. Tapi selalu hidup. Ia mengajarkan demokrasi pemikiran dalam batas-batas adab.
Tapi di sinilah juga muncul risiko: suara yang paling lantang kadang lebih didengar daripada yang paling tepat.
Dan tidak semua guru memberi ruang yang sama bagi semua murid untuk tumbuh. Namun, barangkali yang paling menyentuh dari ketiga metode ini adalah bahwa mereka tidak tergesa-gesa.
Di dunia di mana algoritma menuntut kita untuk cepat selesai dan segera pindah ke hal berikutnya, pesantren dengan sabarnya melatih orang untuk membaca satu paragraf selama satu jam.
Untuk memeriksa satu kata selama satu hari. Untuk memikirkan satu ayat selama bertahun-tahun.
Di sinilah mungkin letak kekuatannya yang paling dalam: ia tidak melatih penghafal, tapi pengendap.
Namun, kekuatan ini juga bisa menjadi batas. Dalam dunia yang menuntut inovasi, kecepatan, dan relevansi, pesantren kadang terseret terlalu lambat.
Ketika kurikulum sekolah umum sudah bicara tentang literasi digital, pesantren masih berkutat pada pembagian fi’il dan isim.
Ketika dunia berbicara tentang kecerdasan buatan, pesantren masih setia dengan tinta dan kitab kuning. Tetapi apakah itu kesalahan? Atau justru perlawanan?
Dikotomi Menjadi Dialog
Mungkin bukan soal dikotomi atau memilih antara tradisi dan modernitas, melainkan bagaimana keduanya bisa berdialog.
Metode lama bisa bersanding dengan teknologi baru, selama semangatnya tetap: memuliakan ilmu dan memanusiakan proses. Bukan mengejar gelar atau nilai, tapi pemahaman dan keikhlasan.
Karena pada akhirnya, ilmu bukan hanya soal tahu. Melainkan adalah cara untuk menjadi. Ini bukan hanya merupakan metode atau cara bagaimana memiliki ilmu pengetahuan, melainkan bagaimana cara menjadi ilmuwan.
Dan pesantren, dengan segala kekuatan dan kelemahannya, masih terus merawat cara itu, perlahan, diam-diam, dan mungkin, justru karena itu, jadi mendalam.
Ini tentang dua modus yang berbeda: memiliki atau menjadi, to HAVE or to BE. Maka ketika pesantren modern mulai menoleh pada teknologi, dengan proyektor, layar digital, dan aplikasi pembelajaran, kita bertanya: Apa yang harus ditinggalkan, dan apa yang bisa disandingkan? Teknologi tentu punya tempat.
Ia mempercepat akses, memperluas cakupan, memudahkan pencarian makna. Tetapi bandongan tak bisa digantikan oleh suara robotik yang membaca kitab.
Sorogan tak bisa dipindahkan seluruhnya ke layar datar yang sunyi. Dan halaqah akan kehilangan roh jika santri hanya menatap layar, bukan wajah gurunya.
Metode ini bukan hanya tentang apa yang diajarkan, namun bagaimana manusia bertemu dengan manusia untuk saling menajamkan makna.
Di zaman yang tergesa-gesa, metode ini justru menjadi penawar: ia mengajarkan kesabaran.
Di tengah gempuran konten yang cepat dan dangkal, ia mendidik untuk menyelam dalam.
Di tengah sistem pendidikan yang sering melahirkan penghafal nilai ujian, ia membentuk pembelajar sejati, yang belajar bukan demi angka, tetapi demi memahami hidup.
Kita hidup di masa ketika banyak hal dipertanyakan, bahkan yang telah teruji waktu.
Tetapi mungkin justru di situlah kita perlu mempertahankan yang telah terbukti. Bukan dalam bentuk kaku namun dalam semangatnya yang bisa lentur.
Karena pesantren bukan hanya tempat belajar agama. Ia adalah ekosistem peradaban.
Dan metode bandongan, sorogan, serta halaqah bukan hanya teknik pengajaran. Ia adalah cara memanusiakan ilmu, dan memuliakan proses.
Dalam metode itu, kita tidak hanya melihat murid dan guru, namun juga tradisi yang terus mengalir, pelan tetapi tak pernah padam.
Gunoto Saparie adalah Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Orwil Jawa Tengah