PUITISASI AYAT-AYAT AL-QURAN: JALAN KEINDAHAN MENUJU KEBENARAN
Ada yang menyebutnya sebagai kitab yang tak bisa ditiru. Ada pula yang menyebutnya sebagai puisi ilahi.
Tetapi para penyair tetap mencoba. Bukan menyaingi, bukan menandingi; mereka tahu batasnya.
Hanya mencoba menyentuh sedikit saja dari keindahan yang dikandung oleh Al-Quran.
Mohammad Diponegoro dan H.B. Jassin adalah dua nama yang senantiasa disebut bila kita berbicara tentang puitisasi terhadap kitab suci itu.
Tetapi, seperti yang sudah bisa ditebak: puisi dan kitab suci tidak selalu bisa duduk berdampingan dengan damai.
Maka kegelisahan pun lahir. Perdebatan pun muncul. Sebagian umat mengernyit. Sebagian lagi tersentuh.
Namun, sesungguhnya: Mengapakah harus gentar? Bukankah Al-Quran itu sendiri sudah puitis sejak mula?
Ia diturunkan dalam bahasa Arab, bukan bahasa Arab biasa, tetapi bahasa yang memukau dan menakjubkan.
Kalam yang ketika dibaca mengguncang, menyentuh, bahkan menggugah.
Di sana ada majas, ada tasybih, ada rima, ada ritme. Ada kemegahan dan kelembutan, dalam satu napas.
Dalam dunia Islam, keindahan bukan barang asing. Tuhan itu Al-Jamal: Yang Maha Indah. Dan kata-kata-Nya adalah cermin dari keindahan itu.
Tetapi, seperti yang pernah dikatakan oleh Mohammad Diponegoro, ketika keindahan itu hendak dialih bahasakan, maka selalu ada sesuatu yang harus dikorbankan.
Antara makna dan bentuk, antara pesan dan rasa, penerjemah kadang harus memilih salah satu dan melepaskan yang lain.
Lalu, apakah yang dilakukan Diponegoro? Ia bukan penerjemah, katanya. Ia hanya penyair. Ia tidak bermaksud mengalihkan ayat demi ayat dengan presisi akademik atau ketepatan tafsir.
Ia hanya ingin menangkap suasana, aroma, dan getar dari firman. Maka, jadilah larik-larik yang pendek dan padat, bergetar seperti doa, tapi juga berdesir seperti musik: Puja dan puji bagi Allah sendiri Penyempurna segala alam perwujudan Penuh kasih penuh ampunan Raja Hari Keputusan tidak mengaku menerjemahkan, hanya menggubah puisi dari terjemahan.
Tetapi di sana ada sesuatu yang tidak bisa disangkal: sebuah upaya mendekati firman, bukan untuk memahami-Nya sepenuhnya, tapi untuk merasakan-Nya.
Intuisi Estetik Jassin berbeda dari Diponegoro, H.B. Jassin lebih tegas menyebut karyanya sebagai terjemahan.
Namun bukan dalam bentuk prosa. Ia memilih bentuk puisi. Sebab baginya, Al-Quran lebih terasa sebagai puisi ketimbang prosa.
Maka ia potong ayat demi ayat seperti bait-bait, ia susun seperti sebuah komposisi.
Kadang satu ayat menjadi dua baris, kadang satu baris berisi dua ayat. Yang menentukan bukanlah tata bahasa Arab, tetapi intuisi estetik Jassin.
Ia ingin agar orang Indonesia bisa merasakan keindahan Al-Quran seperti orang Arab merasakannya: bukan hanya maknanya, tapi juga iramanya, nadanya, dan getaran yang menyertainya.
Tetapi tentu saja, keindahan adalah perkara yang subyektif, dan Al-Quran adalah perkara yang sakral.
Maka pro dan kontra pun tak terelakkan. Di satu sisi, ada yang khawatir bahwa puisi bisa mengaburkan pesan.
Bahwa metafora bisa menggeser makna. Bahwa keindahan bisa mengalahkan kebenaran.
Tetapi di sisi lain, bukankah keindahan juga jalan menuju kebenaran? Dalam sejarah Islam, sastra bukan musuh wahyu.
Bahkan, sebagian besar ulama dan sufi besar adalah penyair: Rumi, Al-Hallaj, Al-Mutanabbi.
Mereka menulis puisi bukan untuk mengganti wahyu, tapi untuk memeluknya dengan bahasa manusia.
Bahasa Al-Quran, jika ditilik dari ilmu balaghah, adalah perpaduan antara bayan, ma’ani, dan badi’.
Ada kejelasan dan kerumitan, ada kesederhanaan dan kedalaman, ada harmoni antara makna dan bentuk.
Bahkan dari sisi musikalitas, Al-Quran memiliki sajak akhir (qafiyah), coda, dan ritme internal yang membentuk pengalaman estetik ketika dibaca secara tartil.
Tajwid bukan hanya teknik membaca, tetapi semacam orkestra ilahiah. Amin Al-Khuli dan Nashr Hamid Abu Zayd menyarankan agar tafsir tidak hanya berbasis hukum atau logika, tetapi juga sastra.
Sebab bahasa Tuhan bukan hanya pesan, tapi juga puisi. Dan puisi, bila dipahami dalam kedalaman estetikanya, bisa membuka pintu makna yang selama ini tertutup oleh kekakuan literal.
Dalam puisi, kata-kata tidak hanya menunjuk, tapi juga menyentuh. Ia tak hanya menjelaskan, tapi juga merasakan.
Dan dalam puitisasi Al-Quran, seperti yang dilakukan Diponegoro atau Jassin, kita menyaksikan sebuah usaha menyapa Tuhan dengan bahasa yang penuh hormat, tetapi juga hangat.
Seperti seorang anak yang membaca puisi untuk ayah atau ibunya, dengan gemetar, namun juga dengan cinta.Kita bisa setuju atau tidak setuju.
Tetapi kita tak bisa mengabaikan bahwa setiap zaman mencari caranya sendiri untuk mendekat kepada firman.
Dan mungkin, bagi sebagian orang, jalan yang mereka tempuh adalah puisi.
Sebab puisi, seperti doa, adalah kata-kata yang kita ucapkan ketika kita tak tahu harus berkata apa.
Ketika makna terlalu besar, dan bahasa terlalu kecil.
Dan mungkin hanya di dalam puisi, firman yang tak terjamah itu bisa sedikit kita dengar sebagai bisikan.
Gunoto Saparie adalah Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia Orwil Jawa Tengah