KETIKA HALTE DIBAKAR, APA YANG SEBENARNYA TERBAKAR?

Pagi itu, halte yang biasanya riuh dengan penumpang tampak sepi dan hangus.

Sisa-sisa kebakaran masih mengepul dari atapnya yang runtuh. Bangku-bangku logam hangus terbakar.

Poster-poster layanan publik tergantung setengah terbakar.

Di sisi lain jalan, sebuah jembatan penyeberangan penuh coretan dan serpihan kaca.

Situasi lengang, menyisakan jejak kerusakan pasca demonstrasi yang berlangsung ricuh pada malam sebelumnya.

Aksi demonstrasi yang berawal di depan Gedung DPR berakhir ricuh dan meluas ke berbagai wilayah.

Sedikitnya enam halte TransJakarta dibakar dan rusak berat, enam belas halte dirusak termasuk perangkat elektroniknya, belasan jembatan penyeberangan orang (JPO) dicorat-coret.

loading...

Kerusakan menjalar hingga Senen, Tanjung Priok, dan Cawang.

Di tengah kobaran api dan pecahan kaca, tersisa jejak kemarahan yang belum sempat dimaknai dan suara-suara yang gagal didengar.

Jejak Kekerasan di Ruang Publik

Insiden tragis yang menewaskan Affan Kurniawan, pengemudi ojek online, memicu kemarahan publik.

Ia tewas setelah terlindas kendaraan taktis Brimob dalam kericuhan aksi.

Peristiwa itu terekam dan tersebar luas di media sosial, menggugah empati dan amarah.

Protes menjalar ke Solo, Bandung, Mataram, Makassar, dan kota-kota lainnya.

Banyak yang berubah menjadi kerusuhan. Fasilitas umum jadi sasaran.Ironisnya, ini bukan kali pertama.

Tahun 1998, 2019, 2020, dan kini 2025, setiap letupan sosial besar selalu meninggalkan jejak di halte, JPO, atau fasilitas umum lainnya.

Pola ini terus berulang. Fasilitas publik menjadi simbol frustasi dan ruang pelampiasan, serta cerminan rapuhnya relasi antara negara dan warga.

Bukan karena disanalah akar masalahnya, tetapi karena hanya itu yang bisa dilihat, disentuh, dan dirusak.

Pertanyaannya kemudian muncul: mengapa fasilitas publik, seperti halte dan jembatan penyeberangan, kerap menjadi sasaran dalam setiap ledakan amarah sosial?

Baca Juga  Pasang Tiang Kabel Internet,Ironisnya Tanpa Ijin Kecamatan Weleri

Halte: Wajah Negara yang Minim Penjagaan

Halte dan jembatan penyeberangan orang (JPO) adalah representasi negara yang paling kasatmata mudah dijangkau, tersebar di jalan-jalan utama, tapi minim penjagaan.

Tak seperti gedung pemerintah atau markas kepolisian yang dilindungi ketat, halte berdiri tanpa pagar, tanpa pagar kawat berduri, tanpa aparat bersenjata.

Ketika kemarahan massa menggelegak, halte jadi simbol yang paling mudah dimasuki, mudah dirusak, dan penuh makna.

Ia menjadi ruang paling dekat untuk menyalurkan kecewa yang tak tersampaikan.

Dalam psikologi sosial, kemarahan yang tidak dapat dilampiaskan langsung kepada sasaran utama, kerap mencari pelampiasan yang lebih dekat dan lebih lemah.

Fasilitas umum seperti halte, jembatan penyeberangan orang (JPO), atau gerbang tol menjadi “sasaran empuk” ketika gedung DPR atau kantor kementerian tak terjangkau.

Di tengah kerumunan yang panas dan penuh emosi, simbol pelayanan publik bisa berubah menjadi objek protes tanpa arah.

Dalam kerumunan besar, identitas personal memudar. Individu merasa bebas dari tanggung jawab.

Rasa aman karena “tidak dikenali”, mendorong tindakan yang sulit dilakukan sendirian.

Satu orang melempar batu, yang lain mengikuti.

Aksi menyebar seperti api. Tidak terencana, tidak terkendali. Norma kelompok mendadak berubah: perusakan jadi tindakan bersama.

Tidak semua kerusuhan berasal dari demonstran.

Dalam banyak kasus, unsur luar menyusup untuk memperkeruh situasi. Provokator sengaja memicu kekacauan demi membelokkan pesan aksi damai.

Di sisi lain, kerusuhan ada dibuat oleh kelompok penjarah yang memanfaatkan momen untuk menjarah di tengah kekacauan.

Tujuannya bukan aspirasi, tapi oportunisme.

Visual halte yang terbakar dan jembatan yang rusak menciptakan kesan dramatis.

Baca Juga  ISLAM YANG MENDENGARKAN

Mudah viral, cepat menyebar. Sorotan media meningkat, dan isu yang diperjuangkan meski lewat cara negatif menjadi perbincangan publik.

Bagi sebagian pihak, ini adalah “mencari publikasi lewat kerusakan”.

Cara cepat dan brutal untuk menyampaikan bahwa relasi antara negara dan warganya sedang terganggu.

Halte Harus Kokoh dan Berbasis Komunitas

Halte harus kokoh dan berbasis komunitas—bukan sekadar struktur fisik yang indah, tapi juga ruang publik yang kuat secara sosial dan tangguh menghadapi risiko.

Sebagian halte kita memang cantik, futuristik, bahkan “Instagramable”.

Namun secara teknis, mungkin memang belum disiapkan untuk menghadapi risiko kerusuhan.

Bahan kaca, akrilik, dan komponen elektronik rentan dirusak. Tidak butuh alat berat untuk menghancurkannya.

Karena itu, perlu evaluasi serius terhadap desain halte dan fasilitas publik lainnya.

Infrastruktur kota tidak hanya perlu indah, tapi juga tangguh menghadapi situasi darurat.

Solusinya bukan sekadar mengganti kaca dengan besi.

Halte bisa didesain modular mudah diganti, tahan api, dan anti-vandal. Kamera pengawas tersembunyi, pengamanan berbasis komunitas, serta keterlibatan warga sekitar sangat penting.

Ketahanan bukan hanya urusan material, tapi juga urusan relasi sosial.

Ketika warga merasa memiliki, mereka juga akan menjaga.

Bayangkan jika halte dijaga oleh warga sekitar pengemudi ojek, pedagang, pelajar, hingga satpam komplek.

Dari kebersamaan itu bisa lahir komunitas sederhana yang peduli dan aktif merawat halte.

Sebut saja, “Sahabat Halte”. Mereka bisa menggelar mural bersama, pameran karya anak-anak, pertunjukan puisi, atau aksi bersih-bersih rutin.

Seperti mushola kampung yang dijaga bersama, halte pun bisa menjadi ruang hidup bersama.

Pemerintah hanya perlu menginisiasi dan memfasilitasi, selebihnya biarkan warga yang menghidupkannya.

Baca Juga  TMMD Bangun Desa Tertinggal, Momen Terindah TNI Kodim 0708/Purworejo

Halte Kita, Tanggung Jawab Kita

Halte bukan milik pemerintah semata. Ia milik semua pekerja, pelajar, ibu rumah tangga, hingga lansia.

Merusaknya bukan sekadar soal kerugian material, tetapi juga mencederai martabat kota: harga diri sebuah ruang hidup bersama.

Menjaganya berarti menjaga diri kita sendiri karena halte adalah titik temu harian kita, ruang tunggu yang menyatukan berbagai latar belakang.

Perusakan halte hanyalah gejala dari persoalan yang lebih kompleks: ketimpangan sosial, kegagalan komunikasi, dan kerapuhan saluran aspirasi.

Solusinya tak cukup hanya membangun kembali struktur fisiknya.

Kita perlu memulihkan rasa percaya, memperkuat keterlibatan sosial, dan menjadikan halte sebagai simbol kehadiran negara yang manusiawi.

Kota yang berpihak pada warganya dimulai dari halte yang kokoh secara fisik, nilai sosial, dan representatif.

Merawat halte adalah tanggung jawab kita bersama.

Dari halte, kita bisa mulai membangun ulang kepercayaan yang retak antara warga, ruang publik, dan negara.

Pernah menjabat Direktur Utama TransJakarta.