Banjir Sumatra dan Filsafat Bencana

Selalu ada jeda yang tak tertangkap mata antara keheningan dan bencana. Seperti sebuah tarikan napas yang terlalu panjang, lalu tiba-tiba berubah menjadi sesak.

Di situlah manusia sering kali lupa: bahwa bencana bukan hanya soal tanah yang bergerak, air yang meluap, atau angin yang mengamuk.

Ada sesuatu yang lebih halus, yang tak bisa dilihat oleh satelit, tetapi berdenyut justru di dalam kepala kita sendiri.

Kita menamakannya filsafat bencana.

Kata “filsafat” sering membuat orang merasa ini urusan para pemikir yang tak menyentuh lumpur.

Tetapi ketika banjir merendam kota, atau ketika gempa mengguncang rumah sampai retak tulangnya, manusia biasa pun tiba-tiba menjadi filsuf.

loading...

Mereka bertanya hal-hal yang sama tuanya dengan kematian: mengapa ini terjadi? untuk apa semua ini? dan kepada siapa kita harus bertanya?

Perspektif ontologis melihat bencana sebagai sesuatu yang “ada” begitu saja: sebuah kejadian di dunia, yang bekerja menurut hukum alam atau hukum sosial.

Gempa bukan marah, banjir bukan dendam; air hanya mengikuti gravitasi. Namun entah mengapa, kenyataan yang sederhana itu sulit diterima.

Kita memperlakukan bencana seakan-akan ia punya niat. Ontologi tidak memberi ruang bagi motif. Ia hanya menyatakan apa yang hadir.

Di tepi ontologi, geografi berdiri sebagai peta: ia menandai daerah rawan gempa, lereng yang gundul, sungai yang dipersempit, dan desa yang berada tepat di jalur yang dilupakan manusia.

Geografi tak memberi hiburan moral. Ia hanya menunjukkan lokasi. Tetapi dari lokasi itulah sering kali manusia membaca nasib.

Kita hidup di negeri yang rawan: cincin api, gunung berapi, patahan panjang, sungai yang meander seperti ular tua.

Tetapi seberapa sering kita mengingatnya kecuali ketika bencana muncul? Mungkin karena kita hidup terlalu dekat dengan kenyataan.

Dan kedekatan sering membuat kita lupa.Namun bencana tak pernah berhenti hanya sebagai objek ontologi.

Pada saat-saat paling sunyi, ia berubah menjadi pengalaman. Di sanalah perspektif fenomenologis bekerja.

Fenomenologi tidak menanyakan apa bencana, melainkan bagaimana bencana dialami. Seorang anak yang kehilangan rumah mungkin mengingat suara gemuruh lebih kuat daripada bentuk tanah longsor itu sendiri.

Seorang ibu yang memegang tangan anaknya di tengah banjir akan mengenang rasa dingin air lebih daripada fakta bahwa air itu datang dari sungai yang meluap.

Fenomenologi adalah upaya manusia untuk memberi makna ketika kenyataan terlalu berat untuk dibiarkan telanjang.

Kadang makna itu muncul sebagai semacam imajinasi defensif. “Ini ujian,” kata sebagian orang. “Ini peringatan,” kata sebagian lain.

Kita membentuk makna agar rasa takut tak beranak-pinak.

Seorang penyintas gempa pernah berkata, “Saya tidak tahu lagi apa yang harus dipercaya. Tetapi saya percaya saya masih hidup.”

Itu mungkin pernyataan fenomenologis paling jujur yang pernah saya dengar: bahwa makna tertinggi dari bencana adalah kemampuan manusia untuk tetap menyebut dirinya ada.

Baca Juga  Galaxy S24 FE: Alat Kreatif Gen Z Bangun Personal Branding di Media Sosial

Di sudut lain, berdirilah perspektif spiritual dan teologis, perspektif yang bagi sebagian orang menjadi pegangan terakhir ketika semua penjelasan lain terasa getir.

Di sini bencana menjadi bagian dari rencana ilahi, sesuatu yang ditempatkan dalam kurva waktu yang jauh lebih panjang dari usia manusia.

Bencana, bagi mereka, bukan sekadar peristiwa fisik. Ia adalah ayat dalam kitab yang lebih luas daripada buku apa pun.

Sebuah ujian, atau sebuah teguran. Barangkali juga sebuah cara Tuhan memaksa manusia membaca ulang hidupnya, seperti seseorang membaca kembali surat lama yang pernah membuatnya menangis.

Keyakinan semacam itu bisa terlihat menenangkan. Tetapi ia juga mengandung paradoks.

Jika semuanya adalah rencana, di manakah letak tanggung jawab manusia?

Jika banjir dianggap “takdir,” apakah itu berarti kita bebas menebang hutan sesuka hati?Pertanyaan-pertanyaan ini tak pernah selesai dijawab.

Teologi, seperti halnya bencana, sering kali hadir bukan untuk menjelaskan, tetapi untuk menenangkan kegelisahan.

Di tengah semua perspektif itu (ontologis, fenomenologis, spiritual) filsafat bencana menghadapi satu tantangan lama yang selalu kembali: mencari makna.

Kita ingin tahu mengapa sesuatu yang buruk terjadi, seakan-akan dunia ini bekerja menurut logika rasa keadilan manusia.

Padahal, seperti ditulis Albert Camus, dunia tidak berkewajiban masuk akal.Tetapi manusia, makhluk yang tak tahan pada kekacauan, terus mencari makna.

Kita ingin percaya bahwa bencana bukan sekadar geseran lempeng atau curah hujan ekstrem.

Kita ingin percaya ada sesuatu yang bisa dijelaskan, agar kita merasa lebih aman. Sebab ketidakpastian adalah musuh paling halus: ia tidak merusak rumah, tetapi merusak pikiran.

Barangkali itu sebabnya manusia menciptakan kisah dan ritual setelah bencana: doa bersama, tahlilan, sedekah, peringatan tahunan.

Semua itu adalah cara untuk memberi bentuk pada sesuatu yang, kalau dibiarkan begitu saja, terlalu mengerikan untuk dihadapi.

Tantangan kedua adalah menghadapi ketidakpastian itu sendiri. Para ahli mitigasi bekerja dengan model statistik; para pejabat bekerja dengan anggaran; tetapi para penyintas bekerja dengan rasa takut.

Setelah sebuah gempa besar, seseorang bisa terbangun hanya karena pintu tertutup tertiup angin.

Setelah tsunami, suara ombak bisa berubah menjadi isyarat bahaya.Ketidakpastian mengubah tubuh manusia menjadi alat pendeteksi yang terlalu sensitif.

Dalam keadaan seperti itu, filsafat bisa menjadi semacam penawar: bukan untuk menghapus ketakutan, tetapi memberi bentuk padanya.

Ketakutan yang diberi bentuk tak lagi menjadi monster tak bernama. Ia menjadi sesuatu yang bisa ditantang, atau minimal diakui keberadaannya.

Dan mungkin, itu sudah cukup.Lalu ada tantangan ketiga: mencegah kepanikan. Inilah medan paling rumit antara filsafat dan psikologi.

Ketika bencana datang, manusia tidak bergerak sebagai filsuf; mereka bergerak sebagai makhluk yang ingin hidup.

Kepanikan adalah naluri yang muncul dari logika tubuh, bukan logika pikiran. Namun kepanikan itulah yang kadang jauh lebih mematikan daripada bencana itu sendiri.

Baca Juga  Pemdes Rejosari, Marahi Pengembang Tak Berijin

Filsafat bencana, dalam pengertian yang paling praktis, ingin membantu manusia mengambil jarak dari ketakutan.

Bukan menjauh, tetapi berdiri cukup jauh untuk dapat berpikir. Untuk tidak berlari ke arah yang justru menjerumuskan. Untuk tidak menolak informasi karena ketakutan. Untuk tidak mempercayai hoaks yang menambah luka.

Bencana memerlukan kejernihan. Dan kejernihan sering kali adalah kemewahan yang hanya bisa dicapai jika manusia berani menahan diri barang beberapa detik.

Dari sudut pandang ontologis, banjir bandang di Sumatra baru-baru ini adalah kebenaran yang tak terbantah: hujan ekstrem, geografi curam, sungai meluap — realitas fisik yang hadir.

Namun bencana tersebut bukan “semata-mata alam”. Kerusakan hutan, perubahan fungsi lahan, dan aktivitas manusia (pertambangan, perkebunan, illegal logging) telah mengubah lanskap sehingga katup alami penahan air hilang.

Dengan kata lain: bencana adalah produk bersama antara alam dan manusia, bukan sekadar “kemurkaan alam.” Dalam filsafat bencana, ini menunjukkan bahwa bencana bisa ditempatkan sebagai “forum negosiasi” antara sifat alamiah dan tindakan manusia.

Ketika manusia mengabaikan keseimbangan ekologis, alam “menjawab” dengan air, longsor, dan kerusakan.

Geografi, dalam kasus ini, tidak hanya sebagai latar: ia adalah aktor terselubung. Lereng perbukitan, hulu sungai yang rusak, DAS yang kehilangan vegetasi — semua itu berfungsi sebagai panggung bencana.

Dan setiap jejak kayu hanyut adalah jejak keputusan manusia: keputusan yang menganggap hutan sebagai komoditas, bukan sebagai penyangga kehidupan.

Bagi ribuan penyintas, banjir bukan hanya angka; ia pengalaman traumatis. Saat air naik, entah di pagi yang gelap atau malam yang hening, suara gemuruh begitu nyata.

Kayu besar yang terlepas dari akar dan terbawa arus, rumah yang terseret, tanah yang longsor; itu bukan sekadar kerusakan fisik, tetapi juga kerusakan identitas: rumah, kampung, lahan tempat mencari nafkah, tumbuh besar, berputar masa depan.

Seorang petani yang selama ini menanam padi di sawah hulu, sekarang melihat ladangnya hilang dalam lumpur.

Seorang anak kehilangan rumah masa kecilnya. Seorang ibu kehilangan tetangga dan teman hidup. Kenangan tertimbun, harapan terbawa arus.

Fenomenologi memungkinkan kita melihat bahwa bencana mengubah relasi manusia dengan ruang dan waktu.

Waktu panjang yang dibangun lewat kerja keras menanami sawah, merawat kebun, membangun rumah, terciprat dan hilang. Hutan yang dulu teduh, kini menjadi kenangan; sungai yang dulu memberi kehidupan, kini membawa penderitaan.

Dalam trauma itu, muncul pertanyaan: “Apakah rumah itu hanya tanah dan kayu?” “Apakah kampung itu hanya lokasi di peta?” Bencana membalik definisi “rumah”, dari bangunan fisik menjadi rasa aman, komunitas, penanda asal.

Dan di sanalah manusia memaknai ulang: tentang kehilangan, kematian, dan tanggung jawab.

Banjir dan longsor di Sumatra tidak bisa dilepaskan dari faktor manusia: deforestasi, tata ruang lemah, perizinan tambang/kelapa sawit, pembalakan liar.

Baca Juga  Pemuda Karang Taruna Desa Pesawahan ,Sinergi Majukan Desa Mandiri

Ketika kayu gelondongan hanyut, bukan sekadar kayu, ia adalah fragmen dari proses destruktif yang sistemik.

Setiap batang kayu hanyut adalah suara hutan yang tak dianggap, teriakan bumi yang diabaikan.

Bencana menjadi semacam “peringatan ekologis”: bahwa ketika kita menggadaikan alam untuk keuntungan sesaat, kita mempertaruhkan masa depan bersama.

Dalam konteks filsafat bencana, ini menuntut pertanggungjawaban etik, bukan hanya moral individual, tetapi kolektif. Pemerintah, korporasi, masyarakat, semua memiliki bagian.

Bencana menjadi kritik terhadap struktur sosial-ekonomi yang menomorduakan keberlanjutan dan kelangsungan hidup bersama.

Bagi banyak orang, bencana membuka pintu untuk refleksi eksistensial: mengapa hidup bisa begitu rapuh? Di saat seperti itu, keyakinan spiritual sering menjadi jangkar paling kuat.

Banjir dan longsor tidak hanya dianggap sebagai fenomena alam, tetapi juga sebagai ujian; panggilan untuk introspeksi: manusia, apakah engkau telah berlaku adil terhadap ciptaan? Terhadap sesama?

Bencana memaksa manusia menghadapi kefanaan. Rumah hanyut, kampung sirna; semua itu mengingatkan bahwa apa pun yang kita anggap permanen bisa lenyap dalam sekejap.

Dan dalam fragmen itu, muncul kesadaran: bahwa hidup bukan soal memaksakan kontrol terhadap alam, tetapi belajar hidup bersama alam, dengan rasa hormat, tanggung jawab, dan kerendahan hati.

Mungkin pada akhirnya kita perlu mengakui sesuatu: bencana tidak pernah meminta kita untuk memahami. Ia hanya meminta kita untuk berubah.

Ontologi membuat kita mengerti bahwa bencana adalah bagian dari dunia. Fenomenologi mengingatkan bahwa pengalaman manusia adalah pusat yang rapuh namun penting.

Teologi memberi penghiburan bahwa kita tidak sendirian, bahkan ketika dunia runtuh.Tetapi di luar semua itu, ada satu filsafat yang tidak diajarkan di buku mana pun: bahwa manusia selalu menemukan cara untuk bangkit.

Dari reruntuhan rumah, dari genangan lumpur, dari suara sirine yang terus berputar. Barangkali, dari sana pula kita belajar: bahwa hidup, seperti bencana, selalu mengandung sesuatu yang tak bisa diprediksi, tetapi manusia, seperti biasa, terus berjalan juga.

Gunoto Saparie

Fungsionaris ICMI Orwil Jateng