ISLAM BERKEMAJUAN PUN MENYALA

Ada satu kata yang sering diucapkan, bahkan dipajang dalam spanduk, dideklamasi dalam mimbar, dan menjadi semacam mantra identitas: Islam Berkemajuan.

Ia terdengar seperti jargon, tetapi ternyata tidak.

Ia bukan produk sebuah rapat branding, bukan pula istilah yang digosok dari mesin promosi.

Ia lahir dari perenungan yang panjang, dari sejarah yang berjalan di antara rumah-rumah sakit, sekolah, panti asuhan, dan kampus, yang secara sunyi dibangun dan dirawat oleh tangan-tangan gerakan yang disebut Muhammadiyah.

Pada Muktamar Satu Abad Muhammadiyah, tahun 2010 di Yogyakarta, istilah itu ditegaskan dalam dokumen resmi: Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Abad Kedua.

Di sana, pada bagian “Pandangan Keislaman”, istilah Islam Berkemajuan berhenti menjadi kata kosong.

Ia menjadi napas dari semangat keberislaman yang tidak semata sibuk dengan masa lalu, tetapi bergerak menembus zaman.

loading...

Muhammadiyah menyebutnya sebagai pandangan keagamaan; bukan mazhab, bukan aliran.

Ia bukan tafsir baru, tetapi cara pandang yang terbuka: terhadap ilmu, terhadap perubahan, terhadap kemanusiaan yang melampaui batas benua dan sekat-sekat identitas.

Di dalamnya, ada kosmopolitanisme Islam. Istilah yang jarang dipakai, barangkali terlalu asing bagi telinga sehari-hari, tapi maknanya bisa ditemukan dalam jejak: bahwa Islam, sebagaimana langit, tidak punya batas-batas nasional.

Apakah itu Islam Berkemajuan? Mungkin ia seperti mata air: jernih, mengalir, tapi tidak pernah diam.

Ia bukan sekadar proyek pemikiran, tapi gerak yang nyata.

Lihat saja rumah-rumah sakit Muhammadiyah yang bahkan di daerah terpencil bisa menjadi harapan terakhir orang sakit.

Lihat sekolah-sekolahnya, dari TK hingga universitas, yang mengajarkan agama tapi juga sains, mengajarkan ibadah tapi juga tanggung jawab sosial.

Di situlah, “kemajuan” menjadi kata kerja. Islam Berkemajuan tidak memandangi dunia dari menara gading.

Ia turun ke jalan, masuk ke desa, menyapa pasar, dan kadang mengurusi jenazah tanpa identitas.

Di sana, keberislaman tidak hanya menjadi ritual, tetapi menjadi tindakan.

Sebab, Islam bukanlah sekadar kumpulan hukum dan larangan, tapi juga cara mencintai hidup dan memperbaikinya.

Dan karena itu pula, Islam Berkemajuan menolak untuk menjadi eksklusif.

Baca Juga  Jelang Sahur Polres Kendal,Amankan Remaja Diduga Hendak Perang Sarung

Ia tidak mengurung diri dalam batas-batas lokal atau sempitnya nasionalisme yang memabukkan.

Ia hidup di manapun, selama ada nilai kemanusiaan, keadilan, dan ilmu pengetahuan yang bisa tumbuh di situ.

Ia membumi dan membuana, seperti angin yang tak pernah memilih siapa yang akan dihembusnya.

Kita tahu, istilah bisa kehilangan makna ketika terlalu sering diucapkan.

Tetapi Islam Berkemajuan justru menunjukkan hal sebaliknya: ia lahir dari praksis, lalu dituliskan.

Ia tumbuh dari etos K.H. Ahmad Dahlan yang mengajarkan surat Al-Ma’un tidak hanya untuk dibaca, tapi dijalani.

Ia digali dari semangat Islam yang hidup dalam kenyataan, bukan yang hanya berdebat di ruang kuliah.

Dan mungkin karena itu, Islam Berkemajuan bukan hanya milik Muhammadiyah.

Ia bisa, dan seharusnya, menjadi milik semua yang percaya bahwa Islam adalah agama yang menyinari zaman, bukan menutupnya.

Tetapi tentu saja, seperti yang sering terjadi, istilah ini pun bisa menjadi klise jika ia hanya dijadikan retorika.

Sebab kata “berkemajuan” sendiri tidak cukup jelas kalau tidak ada ukuran dan kesungguhan.

Ia bisa diucapkan oleh siapa saja, namun hanya dibuktikan oleh yang berani terus bekerja.

Seperti Muhammadiyah yang lebih suka membuka sekolah ketimbang mencaci gelap.

Agama yang Tertinggal

Kita hidup dalam dunia yang berubah cepat, terlalu cepat, barangkali.

Dunia di mana yang lama sering ditinggalkan sebelum sempat menua, dan yang baru kadang datang tanpa sempat dimengerti.

Dalam pusaran ini, agama kerap tertinggal, atau dipertahankan secara membatu.

Tetapi Muhammadiyah, sejak awal, tampaknya mengambil jalan lain: tidak memilih antara memegang atau meninggalkan, namun menafsirkan ulang, dengan akal yang disebut oleh Ahmad Dahlan sebagai “akal pikiran yang suci.

”Islam, dalam pandangan Muhammadiyah, bukanlah sekadar himpunan doktrin yang dirawat dalam museum.

Ia adalah kekuatan yang dinamis, yang bergerak bersama sejarah, bahkan sanggup mengubah arah sejarah itu sendiri.

Maka dari itu, ijtihad bukan hanya hak, tetapi kewajiban; bukan sekadar hak ulama, namun tugas setiap zaman.

Sebab tanpa ijtihad, Islam akan berhenti menjadi jalan dan berubah menjadi dinding.

Baca Juga  Satpol PP Kota Semarang Arogan Pada Pedagang dan Wartawan

Dalam peta pemikiran itu, tajdid, pembaharuan, menjadi nadi gerakan.

Dan pembaharuan, tentu saja, bukan penolakan terhadap tradisi, melainkan keberanian untuk membaca kembali sumber ajaran Islam dalam terang kenyataan yang terus berganti.

Di sinilah letak kekuatan Islam berkemajuan: ia tidak kehilangan pijakan pada yang autentik, tetapi juga tidak gentar menghadapi dunia yang baru.

Ia menjadi lentur tanpa kehilangan bentuk, seperti pohon yang tetap tumbuh meski angin arah datang dari segala penjuru.

K.H. Ahmad Dahlan barangkali bukan seorang pemikir yang menulis tebal-tebal.

Tetapi ia memberi contoh bagaimana Islam bisa menyentuh dunia nyata, bukan sekadar dunia ide.

Teologi Al-Ma’un yang diajarkannya bukan untuk dibaca di ruang kajian, namun untuk dihidupkan di jalanan: memberi makan yang lapar, menyekolahkan yang miskin, mengobati yang sakit, memberdayakan yang terpinggirkan.

Dari Al-Ma’un, Muhammadiyah mengambil napas yang panjang: bahwa amal adalah wajah dari iman.

Dalam kehidupan yang konkret, Islam tidak hadir dalam kata-kata, tapi dalam tindakan. Dan tindakan itu harus membawa pencerahan: tanwir.

Sebab, apa gunanya agama jika tidak mampu menjawab gelap yang ada di tengah masyarakat?

Di sini, kita melihat bagaimana Islam berkemajuan memadukan akal, iman, dan amal sebagai satu kesatuan.

Akal tidak disimpan dalam sangkar, tapi diberi ruang untuk terbang sejauh ilmu pengetahuan.

Iman tidak hanya dipeluk dalam doa, tapi dijelmakan dalam tanggung jawab sosial.

Dan amal bukan sekadar derma, tetapi transformasi, dari keterbelakangan menuju kemajuan.

Masyarakat yang dicita-citakan Muhammadiyah bukan masyarakat yang sempurna, namun yang berusaha untuk adil.

Sebuah masyarakat yang disebut dalam Al-Qur’an sebagai khaira ummah, ummatan wasatha, dan syuhada ‘ala al-nas: umat terbaik, umat tengahan, dan saksi atas kehidupan.

Satu bentuk masyarakat yang tidak ekstrem ke kanan atau ke kiri, tetapi menjaga keseimbangan.

Di dalamnya, Islam menjiwai segala hal: dari cara bermusyawarah hingga cara menyapa tetangga, dari sistem ekonomi hingga seni bermasyarakat.

Dalam konteks Indonesia yang plural, masyarakat Islam seperti ini bukan benteng eksklusif.

Baca Juga  PDI-P Silaturahmi Ke PKS, Masyarakat Rindu Sosok Pemimpin Asal Kendal

Ia adalah tenda besar. Ia menampung siapa saja yang mau hidup damai, yang menghargai martabat manusia, dan yang menolak kekerasan atas nama apapun.

Masyarakat seperti ini adalah masyarakat madani: maju, demokratis, adil, dan berakhlak.

Bukan hanya karena konstitusi, namun karena spiritualitas.

Agama Itu Pelita

Islam berkemajuan, karena itu, bukan sekadar diskursus teologis.

Ia adalah jalan panjang menuju peradaban. Dan peradaban yang dikehendaki Muhammadiyah bukan menara gading yang menjulang tetapi terasing, melainkan ruang hidup bersama yang sejuk dan terang.

Di dalamnya, agama bukan alat kekuasaan, tapi sumber inspirasi.

Bukan senjata, namun pelita.Dan tentu, semua itu bukan tanpa risiko.

Dalam setiap upaya pembaruan selalu ada pertentangan: antara mereka yang takut pada perubahan dan mereka yang tergesa meninggalkan akar.

Tetapi seperti kata Kiai Dahlan: Jangan takut berjalan di depan zaman, asal tetap membawa cahaya.

Dan cahaya itu, bagi Muhammadiyah, adalah Islam yang berkemajuan: membumi dalam amal, dan membuana dalam cita-cita.

Dan akhirnya, Islam Berkemajuan adalah juga bentuk lain dari harapan.

Harapan bahwa Islam bisa menjadi pelita yang merangkul dunia tanpa takut kehilangan akar.

Sebuah keyakinan bahwa kemajuan bukan lawan dari iman, namun justru bagian dari jalan yang terang.

Di dunia yang kerap gaduh oleh klaim kebenaran, Islam Berkemajuan hadir seperti senyap yang menyejukkan: tidak menggebrak, tetapi menyala.

Gunoto Saparie adalah Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Orwil Jawa Tengah