SASTRA PESANTREN TAK PERNAH MATI?

Barangkali yang paling tua dari sebuah kata adalah diam.
Dari diam itulah pesantren memulai segalanya: belajar membaca, menghafal, menulis, lalu menafsirkan dunia.
Seperti para santri yang menunduk di hadapan kitab kuning, dunia di luar tembok pesantren sering lewat tanpa banyak suara.
Tapi justru dari sunyi itulah, pelan-pelan, lahir sebuah kebudayaan, yang oleh sebagian orang disebut “sastra pesantren.”
Sastra, kata para ahli, adalah soal bahasa. Tetapi di pesantren, ia lebih tua dari sekadar bahasa: ia adalah cara mengingat.
Cara berdoa. Cara memeluk nilai tanpa harus menyebut nama-nama besar teori sastra.
Ada semacam ironi di dalam sejarah pendidikan Islam Nusantara: sastra tidak pernah tercatat dalam kurikulum pesantren.
Namun ia hidup di mana-mana. Ia menyusup dalam syiir, dalam nadhom, dalam hikayat, dalam serat, dalam suluk yang diajarkan turun-temurun.
Dari Tegalsari abad ke-17 sampai pesantren-pesantren modern di Jawa Timur hari ini, sastra dihidupi tanpa perlu diundang.
Yasadipura I, Yasadipura II, Ranggawarsita—tiga nama yang sering disebut dalam lintasan antara keraton dan pesantren—mungkin tak akan menyebut diri mereka “sastrawan pesantren.”
Tetapi darah yang mengalir di karya-karya mereka adalah darah pesantren: menakar kata sebagai zikir, menimbang bait sebagai ibadah.
Mereka menulis bukan untuk pasar, bukan untuk kurikulum, melainkan untuk melanjutkan sesuatu yang tak ingin punah: sebuah cara pandang terhadap dunia yang menyatukan antara adab dan makna.
Kita membaca Serat Cebolek, misalnya. Di situ berlangsung perdebatan yang panjang antara ulama dan penguasa, antara Kiai Khotib Anom dan Syekh Ahmad Al-Mutamakin.
Seperti dua arus yang bertemu di muara yang sama: agama dan sastra. Di dalam perdebatan itu, kalimat tak hanya menjadi argumen, tapi juga puisi.
Ia mengandung keindahan sekaligus keberanian, dua hal yang jarang bersatu.
Atau Serat Sasanasunu, yang memahat empat jenis manusia ideal: priayi, santri, petani, saudagar.
Semua dijadikan cermin bagi watak. Tak ada dikotomi “duniawi” dan “ukhrawi”; semua menyatu dalam satu tarikan napas kehidupan.
Yasadipura II menulisnya bukan sebagai moralitas kering, tapi sebagai cara halus untuk mengingatkan bahwa manusia, betapapun sederhana, adalah teks yang bisa dibaca Tuhan.
Sastra, seperti tasawuf, bekerja dengan cara yang samar. Ia tak selalu mengajarkan, tapi menuntun.
Dalam pesantren, tasawuf menjadi ilmu pokok selain fikih dan tauhid. Dari tasawuf lah lahir kesadaran bahwa hidup bukan sekadar menepati hukum, tapi juga merawat rasa.
Dan dari rasa itu pula, sastra menemukan rumahnya.
Maka tidak mengherankan bila tradisi literasi di pesantren berkembang begitu kaya, tidak dalam bentuk wacana modern seperti jurnal atau buku, tapi dalam bentuk manuskrip, syair, doa, suluk, hikayat.
Di Surakarta, pada masa Sultan mendukung transmisi ilmu Islam, tercatat 145 teks kesusastraan lahir di tangan kaum santri.
Ranggawarsita, yang kita kenal sebagai pujangga terakhir Jawa, adalah pewaris tradisi pesantren itu.
Di belakang namanya berdiri bayang panjang: Kiai Amongraga, penulis Serat Centini, karya besar yang menghimpun hampir segala pengetahuan dan kebudayaan Jawa.
Mereka menulis, tampaknya, bukan karena ingin disebut cendekia, tetapi karena takut kehilangan.
Takut kehilangan makna di tengah perubahan zaman. Maka, setiap bait adalah bentuk pertahanan terhadap lupa.
Namun zaman bergerak, dan setiap zaman membawa luka kecilnya sendiri. Kini, pesantren masih berdiri.
Para santri masih belajar kitab kuning, menelaah tafsir, fikih, tasawuf, nahwu-sharaf.
Tapi ketika rak-rak buku di toko-toko kota besar kita isi oleh nama-nama penulis muda dari kampus, jarang sekali nama santri muncul di antaranya.
Ironis, karena mereka hidup di tengah teks. Setiap hari mereka membaca, menafsir, menghafal.
Tetapi kebiasaan menulis, yang dulu menjadi darah kehidupan ulama, pelan-pelan hilang di antara suara pengeras azan dan jadwal bandongan.
Barangkali karena menulis butuh keberanian untuk menafsirkan dunia dengan cara sendiri.
Dan di pesantren, menafsir kadang masih dianggap wilayah para kiai. Santri lebih banyak menjadi peniru, bukan pencipta.
Maka, budaya literasi yang dulu hidup dalam bentuk serat, suluk, dan kitab, kini seperti tidur di antara tumpukan teks klasik.
Menulis adalah cara melawan lupa. Barangkali pesantren hari ini butuh mengingat lagi bahwa menulis juga bagian dari zikir: zikir pada kehidupan, pada pengetahuan, pada bahasa yang terus berubah.
Sastra di pesantren selalu memiliki dua wajah: hiburan dan spiritualitas.
Ia bisa hadir dalam Aqidatul Awam karya Syekh Ahmad Marzuki al-Maliki, kitab tauhid yang disusun dalam bentuk puisi.
Atau dalam Barzanji, yang dibaca dengan irama mendayu pada malam kelahiran Nabi.Puisi, doa, dan nyanyian, semua bertemu di satu titik: ekspresi penghambaan diri.
Di situ kita melihat: sastra tidak pernah dipisahkan dari ibadah. Membaca Al-Hikam karya Ibn Athaillah, misalnya, sama dengan membaca syair yang menyembunyikan kebijaksanaan.
Kata-katanya seperti doa yang menolak selesai. Di pesantren, bahkan doa pun memiliki bentuk estetika. Setiap hizib, setiap wirid, adalah komposisi bahasa yang memantulkan irama batin.
Bahasa menjadi jalan menuju keheningan — dan barangkali, di situlah sastra menemukan bentuk paling puranya.
Gus Dur pernah membedakan dua jenis sastra pesantren: yang pertama, karya yang menggambarkan kehidupan pesantren; yang kedua, karya yang membawa semangat dan psikologi pesantren meskipun tidak menulis tentang pesantren.
Keduanya sama-sama berakar pada religiusitas. Tetapi religiusitas di sini bukan dogma, melainkan rasa: sebuah kesadaran bahwa di dalam setiap kata, ada jejak sesuatu yang lebih tinggi dari manusia.
Oleh karena itu, sastra pesantren bukan sekadar teks religius. Ia adalah ruang perjumpaan antara manusia dan Tuhan melalui bahasa.
Dalam hal ini, santri, dengan kejujuran dan kedisiplinannya, adalah bentuk dari sastra itu sendiri.
Namun, seperti banyak hal dalam kebudayaan kita, sastra pesantren kini juga berhadapan dengan tantangan zaman digital. Sastra kehilangan waktu lambatnya.
Ia ditelan kecepatan media sosial. Para santri yang dulu menyalin kitab dengan tangan kini menyalin teks dengan jempol.
Tetapi barangkali, di antara guliran layar, masih tersisa keinginan untuk menulis kalimat yang menyentuh hati, bukan untuk viral, melainkan untuk mengingatkan diri.
Mungkin, tugas kita sekarang bukan sekadar menghidupkan “sastra pesantren” sebagai genre, tetapi menghidupkan kembali semangat kesunyian yang dulu melahirkannya.
Menulis, membaca, dan berpikir sebagai ibadah. Sejarah manusia adalah upaya terus-menerus untuk menafsirkan yang tak terjelaskan.
Dan pesantren, dengan seluruh teksnya, sedang melakukan hal yang sama. Ia membaca dunia, dengan kitab, dengan puisi, dengan doa, untuk mencari makna dari hidup yang fana.
Ketika santri melafalkan bait syiir, ia sebenarnya sedang menulis ulang sejarah kecil manusia: sejarah kesetiaan kepada makna.
Dan setiap kali kitab kuning dibuka, mungkin yang terbuka bukan hanya teks, tetapi jendela menuju keindahan yang tak pernah benar-benar mati.
Sebab sastra, pada akhirnya, bukan tentang siapa yang menulis, tapi tentang siapa yang berani mendengarkan.
Dan pesantren, dengan segala kesunyiannya, telah lama mengajarkan cara mendengarkan yang paling dalam.
Mungkin dari sanalah, sastra lahir kembali, seperti doa yang dibisikkan di tengah malam, tak menuntut jawaban, hanya ingin mengingatkan bahwa di dalam kata, selalu ada Tuhan yang bersembunyi.
Gunoto Saparie adalah Ketua Umum Satupena Jawa Tengah
