Sains dalam Perspektif Filsafat

Pada suatu pagi yang biasa, seorang anak berdiri di depan jendela.

Ia menatap hujan. Tetes demi tetes jatuh:berulang, teratur, tanpa gembar-gembor.

Di sekolah, kelak ia akan tahu bahwa hujan adalah proses kondensasi, pertemuan awan dan suhu, pertemuan molekul air dengan hukum termodinamika.

Dan pelajaran itu akan menjelaskan semuanya, merapikannya dalam buku ajar. Tetapi pada pagi itu, ia hanya melihat hujan sebagai keajaiban.

Mungkin di sinilah sains memulai ceritanya, bukan pada laboratorium, bukan pada statistik yang kaku, tetapi pada keheranan manusia.

Sebuah rasa ingin tahu yang kemudian dipagari, dipastikan, diukur, dicatat.

loading...

Dalam bahasa akademik, sains adalah deretan konsep dan skema konseptual yang tumbuh melalui observasi dan eksperimen.

Namun sebelum menjadi “deretan konsep”, ia adalah decak kagum. Sebelum menjadi teori ilmiah, ia adalah tatapan bingung seorang anak, yang bertanya.

Tiga dekade terakhir, dunia berubah begitu cepat. Teknologi menjadi poros ekonomi; mesin-mesin algoritmik menggantikan kuli tinta, kantor, bahkan obrolan manusia.

Friedman menyebut dunia menjadi datar. Barangkali yang ia maksud bukan geometri bumi, tetapi geometri kesempatan: siapa pun, di mana pun, asal terkoneksi, dapat ikut serta dalam kompetisi global.

Dalam perlombaan itu, ilmu pengetahuan, terutama sains, jadi bekal utama. Pengetahuan bukan lagi kebutuhan, melainkan prasyarat keselamatan.

Sains, dalam dunia seperti itu, menjadi alat. Para pendidik meyakini, bahwa pembelajaran sains adalah jalan bagi anak mengenali alam dan memecahkan masalah.

Kata “pemecahan masalah” kini menjadi mantra sektoral: mulai dari kementerian sampai ruang kelas.

Sains dikondisikan menjadi mekanisme produksi keterampilan, dan barangkali benar, karena orang tidak bisa hidup dari keajaiban semata.

Namun pertanyaan yang diam-diam menggantung adalah: apakah sains cukup untuk menjelaskan dunia?

Ataukah ia sebatas benda mekanik, baik, stabil, tetapi tanpa metafora?

Sains terbatas pada hal-hal yang dapat dipahami oleh panca indera.

Sesuatu yang dapat dilihat, disentuh, didengar, diukur. Dalam terminologi epistemologi, sains hidup di ranah empiris.

Baca Juga  Menteri Nusron Ajak Kepala Daerah Riau Dorong Partisipasi Masyarakat dalam Pembaruan Data Pertanahan

Ia mengabaikan yang metafisik karena tidak dapat diuji. Paham itu membentuk kita: dunia dianggap nyata hanya ketika ia dapat dibuktikan.

Tetapi bagaimana dengan kesedihan? Apakah ia benar karena terukur? Apakah kita hanya menjadi manusia kalau grafik emosi kita bisa ditempelkan pada power-point?

Keterbatasan ruang lingkup sains bukan kelemahan; ia adalah pilihan metodologis. Namun di situ pula ada jarak antara sains dan filsafat. Filsafat bertanya tentang makna.

Sains bertanya tentang sebab. Dalam sejarah intelektual Barat, keduanya dulu berjalan berdampingan.

Aristoteles, misalnya, tidak memisahkan ilmu alam dari metafisika.

Barulah ketika Galileo menundukkan langit pada pengukuran, lahirlah sains modern: rasional, kalkulatif, skeptis.

Barangkali dunia akademik hari ini memuja sains sedemikian rupa hingga lupa bahwa sains sendiri lahir dari filsafat.

Kita memuji metode, tetapi melupakan perenungan. Kita memuliakan eksperimen, tetapi mengabaikan kontemplasi.

Sains sering digambarkan sebagai benteng objektivitas. Namun siapa yang mendirikan benteng itu kalau bukan manusia dengan ketakutan, obsesi, ambisi, dan tentu saja, kepercayaan?Ada masa ketika sains menjadi agama baru.

Rasionalitas dianggap obat untuk segala masalah. Namun sejarah memberi kita ironi: logika yang paling canggih justru menghasilkan bom atom di Hiroshima.

Di sinilah, argumen penelitian tersebut tentang sikap ilmiah menjadi relevan, meski mungkin tidak cukup.

Sains membutuhkan bukan hanya sikap metodologis, tetapi kesadaran etis.Dalam pemaparan James Conant maupun Carin & Sund, sains terdiri dari tiga unsur: proses, sikap, dan produk.

Tiga hal itu bekerja seperti roda. Namun roda yang berputar membutuhkan arah. Dan arah bukan ditentukan oleh laboratorium, melainkan oleh nurani.

Di sinilah dunia pendidikan sering keliru. Kita mengajarkan anak menghitung kecepatan benda jatuh, tetapi tidak mengajarkan untuk bertanya:

apakah menciptakan benda jatuh untuk menghancurkan kota adalah sesuatu yang patut?

Baca Juga  Bupati Kendal Rencana Open House Rumah Dinas, Jadwal Masih Dibahas

Kita mengajarkan cara menaklukkan alam, tetapi tidak mengajarkan bagaimana hidup dalam damai dengannya.

Sains memang membuat kita memahami petir, tetapi itu tidak berarti kita berhenti takjub.

Betul, sejak dini anak perlu memahami sains, bukan sebagai hafalan, tetapi sebagai cara berpikir.

Anak perlu diajarkan mengambil kesimpulan dengan hati-hati, memeriksa informasi, tidak tergesa percaya.

Namun sesuatu hilang jika sains hanya untuk keterampilan teknis. Sains sejati bukan hanya teknik, tetapi rasa ingin tahu.

Rasa ingin tahu bukan hanya untuk memecahkan masalah, tetapi untuk menghayati dunia.

Kita tidak jatuh cinta pada sains karena rumus, melainkan karena kehidupan yang rumus itu terangkan. Rumus adalah jalan, bukan tujuan.

Mungkin karena itulah sains harus dilihat dari perspektif filsafat. Agar ia tidak sekadar menjadi alat produksi teknologi, tetapi percakapan manusia dengan semesta.

Ada yang menarik dalam uraian Bernal: sains sebagai institusi, metode, kumpulan pengetahuan, faktor produksi, dan faktor pembentuk sikap. Semua benar.

Tetapi mungkin ia lupa satu hal: sains sebagai cerita manusia. Cerita orang-orang yang berseteru, berjuang, mengajukan pertanyaan yang tak pernah selesai.

Galileo menantang gereja. Newton berdebat dengan Leibniz. Einstein menentang fisika klasik. Hawking menantang Einstein. Sains bukan hanya kumpulan konsep; ia juga drama ego, tragedi, ambisi, dan percintaan intelektual.

Ia bukan dunia tanpa manusia; ia justru menggambarkan manusia dalam bentuk paling telanjang: ingin tahu, tetapi rapuh.

Dan seperti semua cerita manusia, sains juga membawa paradoks. Ia memuliakan objektivitas, tetapi bertumpu pada subjektivitas penemu.

Ia memuja keraguan, tetapi menghasilkan kepastian sementara.

Ia membatasi diri pada indera, tetapi kemudian menyentuh hal-hal yang tak mungkin dirasakan, seperti quark, singularitas, atau gelombang gravitasi.

Di sinilah sains menyentuh wilayah filsafat tanpa mengakuinya.Pada akhirnya, mungkin kita kembali pada hujan itu di jendela.

Anak itu kini mengenal istilah kondensasi dan siklus hidrologi.

Baca Juga  DPRD Jateng Bahas Raperda SDA dan Penyertaan Modal BUMD dalam Rapat Paripurna

Tetapi apakah keajaiban itu hilang? Atau pengetahuan justru membuat keajaiban semakin dalam?

Kita sering mengira bahwa sains mematikan misteri. Namun mungkin justru sebaliknya: setiap kali sains menjawab sebuah pertanyaan, ia membuka pertanyaan lain yang lebih besar.

Sains membawa kita dekat pada jawaban, tetapi lebih dekat lagi pada ketidakterbatasan.

Sains, dalam perspektif filsafat, bukan hanya apa yang dapat dibuktikan. Ia juga kesadaran bahwa banyak hal tak dapat dibuktikan, dan itu tidak membuatnya kurang bermakna.

Sains adalah keberanian untuk mengukur dunia, sekaligus kerendahan hati menerima bahwa dunia selalu lebih besar dari alat ukur kita.

Pendidikan sains bukan hanya membentuk pemecah masalah, tetapi pembawa keheranan.

Anak-anak bukan hanya perlu belajar bagaimana memecahkan persoalan kehidupan, tetapi bagaimana mencintai kehidupan.

Sebab tanpa cinta, sains hanya akan menjadi teknologi. Dengan cinta, sains menjadi cara kita memahami semesta, dan memahami diri.

Pada suatu pagi nanti, ketika hujan kembali jatuh, mungkin anak itu akan tersenyum: bukan karena ia tidak lagi takjub, tetapi karena kini ia tahu: keajaiban dan pengetahuan tidak pernah saling meniadakan.

Mereka hanya dua cara yang berbeda untuk memandang dunia.

Gunoto Saparie

Ketua Umum Satupena Jawa Tengah