GUNOTO SAPARIE: SANG FLAMBOYAN BERKARYA LIMA DEKADE

Gunoto Saparie lahir pada 22 Desember 1955 di Kendal, Jawa Tengah, dan menapaki dunia sastra sejak usia muda dengan debut di SMP.

Karya puisinya, cerpen, novel, dan esai telah tersebar di media nasional hingga Asia Tenggara, membentang lintas zaman dan generasi.

Namanya tidak hanya harum di dunia sastra, tapi juga dikenal sebagai jurnalis kawakan yang pernah menjabat Redaktur Utama harian Wawasan.

Ia memimpin redaksi berbagai media lokal dengan gaya kepemimpinan yang energik dan berwawasan kebudayaan.

Lebih dari itu, Gunoto adalah sosok multi-talenta: ia pernah menjadi guru, dosen, konsultan perpajakan, kontraktor, hingga penyuluh agama madya.

Perjalanan kariernya memperlihatkan fleksibilitas intelektual dan spiritual yang luar biasa dalam berbagai ruang sosial.

Keaktifannya dalam organisasi seperti Dewan Kesenian Jawa Tengah, ICMI Jateng, dan Satupena menegaskan dedikasinya membangun ekosistem literasi.

loading...

Ia tidak hanya menulis, tetapi juga membina, memimpin, dan memberi arah bagi para penulis muda dan komunitas sastra.

Sebagai sastrawan flamboyan, Gunoto dikenal berani bereksperimen dalam gaya dan tema.

Baca Juga  Banyumas, Gelar Sidang Tipiring Bagi Warga Tak Pakai Masker

Puisinya tajam, kadang melankolis, kadang reflektif, namun selalu menyimpan letupan pemikiran yang orisinal.

Gaya tulisnya memadukan narasi sejarah dan imajinasi sastra seperti dalam novel Bau, nomine Prasidatama 2020 dari Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah.

Novel ini menjahit tragedi masa kolonial dengan narasi personal, menggugah memori kolektif tentang luka bangsa yang nyaris dilupakan.

Kini, setelah berkarya selama 50 tahun, ia dianugerahi penghargaan “Sastrawan Berkarya Lima Dekade” dari Badan Bahasa Kemendikdasmen.

Penghargaan ini merupakan simbol kehormatan atas konsistensinya dalam membangun literasi sebagai kekuatan kebangsaan.

Penghargaan itu juga merupakan pengakuan atas kerja panjang seorang intelektual sastra yang tak hanya menulis, tapi turut membentuk cara berpikir bangsa.

Gunoto menulis bukan untuk popularitas, melainkan untuk membangun keinsafan dan kesadaran historis masyarakat.

Ia memulai semuanya dari bawah, dari mendeklamasikan puisi Chairil Anwar di SD, menulis di media pelajar, lalu tumbuh menjadi penulis nasional.

Proses panjang ini mencerminkan bahwa kreativitas sejati dibentuk oleh ketekunan, keingintahuan, dan jiwa belajar yang tak pernah padam.

Baca Juga  Pengurus PC GP Ansor Kendal 2024-2028 Resmi Dilantik,Inilah Susunan Pengurus Baru

Gunoto bukan hanya produktif, tetapi juga inklusif, ia rajin berkolaborasi dalam antologi bersama dan majalah pendidikan di berbagai sekolah.

Hal ini menunjukkan komitmennya terhadap regenerasi sastra dan pendidikan literasi sejak dini.

Esai ilmiah populer ini menyoroti pentingnya peran sastrawan sebagai jembatan nilai, bukan sekadar penulis kata-kata.

Gunoto menjadikan puisi sebagai medium dakwah, sejarah sebagai ruang kontemplasi, dan jurnalistik sebagai sarana edukasi publik.

Menjadi guru dan dosen memperluas ruang reflektifnya, menjadi penyuluh agama memperdalam spiritualitas karyanya.

Sementara itu, pengalaman sebagai konsultan perpajakan dan kontraktor menunjukkan bahwa sastrawan bisa membumi di ranah teknis.

Gunoto adalah bukti nyata bahwa sastra tidak harus hidup di menara gading, tetapi bisa berjalan di lorong pasar, ruang kelas, dan mimbar masjid.

Sosoknya menjadi inspirasi lintas profesi, bahwa siapa pun bisa menulis, dan menulis bisa menjadi bentuk ibadah.

Akhirnya, Gunoto Saparie adalah figur langka yang menjembatani kata dan makna, dunia akademik dan sosial, spiritual dan praktikal.

Baca Juga  Prakiraan Cuaca BMKG untuk September 2024: Dampak pada Sektor Pertanian

“Lima dekade berkarya” bukan hanya angka, tapi cahaya yang terus menyala dalam narasi keindonesiaan yang sedang dibangun bersama.

Gunawan Trihantoro, Sekretaris Kreator Era AI Jawa Tengah, dan Ketua Satupena Kabupaten Blora.