Pandangan Etika Kristen terhadap Aborsi
oLEH : Dr. Sariyanto
SEMARANG, JURNALJATENG.id – Dalam etika Kristen, kehidupan sebagai anugerah Tuhan yang suci dan dimulai sejak konsepsi. Prinsip ini berakar pada keyakinan bahwa setiap manusia diciptakan menurut gambar Allah (Imago Dei) dan, oleh karena itu, memiliki martabat yang tak ternilai sejak awal kehidupannya (Mazmur 139:13-16).
Aborsi, dalam perspektif Kristen, sebagai pelanggaran terhadap kehormatan kehidupan yang dianugerahkan Tuhan. Pemikiran ini tidak hanya menyentuh aspek teologis, tetapi juga menyentuh hati nurani moral umat Kristen dalam berinteraksi dengan isu-isu bioetika.
Wakil Gubernur Carolina Utara dari Partai Republik, Mark Robinson, baru-baru ini kembali menarik perhatian publik dengan pernyataannya yang tegas tentang aborsi. Dalam sebuah acara kampanye, Robinson menyatakan keinginannya untuk menurunkan batasan aborsi hingga “nol minggu,” mencerminkan sikap pro-kehidupan yang kuat.
Meskipun undang-undang aborsi di North Carolina saat ini membatasi aborsi hingga 12 minggu dengan pengecualian untuk kasus pemerkosaan, inses, atau ancaman terhadap kehidupan ibu, Robinson menyatakan keinginannya untuk lebih membatasi prosedur tersebut.
Menurut Robinson, posisinya terkait aborsi bukan sekadar masalah politik, tetapi juga didorong oleh keyakinan agamanya. Baginya, “tidak ada alasan mengapa aborsi harus terjadi,” dan sebagai seorang pejabat terpilih, dia merasa perlu bekerja dalam konsensus hukum yang ada, meskipun keyakinan pribadinya mendesak untuk penghapusan aborsi sepenuhnya.
Dalam pandangan etika Kristen, posisi ini sejalan dengan prinsip bahwa kehidupan harus dilindungi pada setiap tahapannya.
Isu Sosial dan Kompleksitas Keputusan Aborsi
Meski demikian, aborsi adalah masalah yang sangat kompleks dan sering kali melibatkan faktor sosial, ekonomi, dan kesehatan. Beberapa perempuan mungkin menghadapi kondisi yang sulit, seperti kehamilan akibat pemerkosaan atau inses, atau komplikasi medis yang mengancam nyawa mereka.
Kompleksitas ini menantang keyakinan etika Kristen yang menolak aborsi secara total, mengharuskan gereja dan masyarakat untuk memikirkan pendekatan yang penuh kasih dalam mendukung perempuan yang menghadapi keputusan sulit.
Robinson sendiri menyadari kompleksitas ini dalam pernyataannya. Dia mengatakan bahwa meskipun konsensus saat ini menetapkan batas aborsi hingga 12 minggu dengan pengecualian, keyakinan agamanya memungkinkan dia menerima batasan ini dengan tekanan.
Namun, dia tetap bertekad untuk memperjuangkan pembatasan yang lebih ketat, bahkan hingga menghapus aborsi sepenuhnya.
Data Aborsi di Amerika Serikat: Tren dan Implikasinya
Para peneliti memperkirakan ada 1.026.700 aborsi di Amerika Serikat pada tahun 2023. “Itu jumlah tertinggi dalam lebih dari satu dekade, [dan] pertama kalinya ada lebih dari satu juta aborsi yang dilakukan dalam sistem perawatan kesehatan formal AS sejak 2012,” jelas Isaac Maddow-Zimet, seorang ilmuwan data di Guttmacher.
Angka ini menunjukkan peningkatan yang signifikan dalam jumlah aborsi, menandai tren yang perlu diperhatikan oleh pembuat kebijakan dan pemimpin agama.
Laporan Guttmacher juga menemukan bahwa aborsi dengan obat meningkat menjadi 63% dari semua aborsi pada tahun 2023, naik dari 53% pada tahun 2020. Tren ini menunjukkan bahwa semakin banyak perempuan memilih metode aborsi non-invasif melalui obat-obatan, yang sering kali dilakukan di luar lingkungan klinis.
Penelitian ini, yang dilakukan dengan mensurvei penyedia layanan aborsi langsung dan virtual di seluruh negeri, telah diadakan sejak tahun 1974. Data ini menimbulkan pertanyaan penting mengenai akses terhadap aborsi dan bagaimana teknologi medis memengaruhi pilihan perempuan.
Dampak Psikologis dan Sosial dari Aborsi
Selain dampak fisik, aborsi juga memiliki dampak psikologis dan sosial yang mendalam. Banyak perempuan yang melakukan aborsi menghadapi perasaan bersalah, kehilangan, dan trauma emosional.
Dalam beberapa kasus, dampak psikologis ini dapat berlangsung bertahun-tahun, memengaruhi kesehatan mental dan kualitas hidup mereka. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perempuan yang melakukan aborsi cenderung mengalami depresi, kecemasan, dan gangguan stres pasca-trauma.
Dampak sosial aborsi juga tidak bisa diabaikan. Secara luas, masyarakat dapat terpecah dalam menyikapi isu ini, terutama ketika menyangkut moralitas dan hak perempuan atas tubuh mereka sendiri.
Aborsi dapat memengaruhi dinamika keluarga, komunitas, dan bahkan politik negara, seperti yang terlihat dalam perdebatan antara Robinson dan pendukung hak aborsi. Dengan meningkatnya angka aborsi, dampak sosial dan politik dari isu ini menjadi semakin penting untuk dipertimbangkan oleh para pembuat kebijakan.
Solusi Pro-Kehidupan: Peran Gereja dan Masyarakat
Dalam menghadapi isu aborsi, gereja dan masyarakat Kristen memainkan peran penting dalam mendukung solusi pro-kehidupan. Ini termasuk mendukung perempuan melalui layanan konseling, memberikan opsi adopsi, serta menyediakan dukungan sosial dan ekonomi bagi keluarga.
Di beberapa negara bagian, ada upaya untuk memperkuat sistem adopsi dan perawatan anak, serta memberikan bantuan keuangan kepada keluarga yang membutuhkan, untuk mengurangi kebutuhan aborsi.
Robinson, dalam pernyataannya, menegaskan bahwa dia akan bekerja untuk membuat Carolina Utara menjadi “destinasi kehidupan” dengan membangun budaya yang lebih mendukung perempuan dan keluarga. Ini termasuk memperkuat sistem adopsi, perawatan anak, dan memberikan dukungan kepada perempuan yang menghadapi kehamilan yang tidak direncanakan.
Sebagai kesimpulan, aborsi adalah isu yang sangat rumit, melibatkan aspek moral, sosial, dan politik yang mendalam. Dari perspektif etika Kristen, kehidupan sebagai anugerah yang harus dilindungi sejak awal.
Namun, dalam menghadapi realitas yang kompleks, diperlukan pendekatan yang penuh kasih dan solusi yang komprehensif untuk mendukung perempuan dan keluarga dalam memilih kehidupan, sesuai dengan nilai-nilai iman yang dipegang.
Foto : Illustrasi
(Red/JJid)