Mengapa Hukum Ekonomi Syariah Harus Berbenah di Tahun 2025

JURNALJATENG.id, Tahun 2025 menjadi momentum penting bagi perkembangan Hukum Ekonomi Syariah (HES) di Indonesia. Kita sedang berada pada fase ketika kebutuhan masyarakat terhadap layanan keuangan yang halal, aman, dan transparan semakin meningkat, sementara teknologi digital melaju jauh lebih cepat daripada kesiapan regulasinya. Jika kita tidak segera beradaptasi, maka kepercayaan publik terhadap industri keuangan syariah bisa terancam.
Ekonomi Syariah yang Berlari Cepat, Regulasi yang Masih Berjalan
Pertumbuhan fintech syariah, dompet digital halal, wakaf produktif online, hingga sukuk ritel digital menunjukkan bahwa masyarakat sebenarnya sangat siap menyambut ekonomi syariah berbasis teknologi. Namun di sisi lain, regulasi seperti KHES dan fatwa DSNMUI masih tertinggal. Belum ada pedoman baku tentang:
• Bagaimana Akad Digital Dibuktikan,
• Bagaimana Kepemilikan Barang Dalam Murabahah Online Divalidasi,
• Bagaimana Smart Contract Dipastikan Bebas Riba Dan Gharar,
• Atau bagaimana sengketa diselesaikan secara digital.
Ketertinggalan ini memunculkan interpretasi yang beragam di lapangan. Akhirnya, banyak platform mengklaim “syariah”, tetapi praktiknya masih jauh dari standar fikih.
Wakaf dan Murabahah Digital: Antara Inovasi dan Kekhawatiran
Wakaf produktif digital adalah inovasi besar, tetapi juga membuka ruang masalah baru. Banyak aset wakaf justru tercatat atas nama platform, bukan nazhir.
Tanpa kejelasan kepemilikan digital (digital tamlik), bagaimana masyarakat bisa yakin wakafnya sah secara syariah?
Begitu pula dengan murabahah digital yang menjadi tulang punggung pembiayaan syariah. Tidak jarang barang belum dibeli oleh platform, tetapi sudah dijual kepada nasabah.
Prosesnya cepat, cukup klik aplikasi, namun di situlah letak masalahnya. Tanpa bukti pembelian, tanpa saksi, tanpa transparansi margin akad murabahah bisa berubah menjadi praktik yang justru menyalahi prinsip syariah.
IMBT, Smart Contract, dan Tantangan Fikih Teknologi
Akad IMBT digital juga menuai kritik karena penyitaan aset yang tidak diatur jelas, biaya kepemilikan yang samar, dan ketidaksinkronan aturan antara OJK, KHES, dan praktik industri. Sementara itu, smart contract yang seharusnya menjadi masa depan transaksi syariah justru memunculkan pertanyaan fikih baru:
• Apakah akad otomatis tanpa campur tangan manusia sah?
• Bagaimana menghindari riba di dalam kode program?
• Jika terjadi kesalahan sistem, siapa yang bertanggung jawab?
Diskusi tentang hal ini menjadi salah satu yang paling ramai dibicarakan akademisi di tahun 2025.
Saatnya Hukum Ekonomi Syariah Naik Kelas
Jika ekonomi syariah ingin terus tumbuh dan dipercaya masyarakat, maka kita tidak boleh hanya bangga karena industri syariah berkembang. Kita harus memastikan perkembangannya benar-benar sesuai syariah. Karena itu, beberapa langkah mendesak perlu dilakukan:
1. Revisi KHES secara komprehensif agar mampu mengakomodasi akad digital, bukti kepemilikan digital, dan penyelesaian sengketa online.
2. Regulasi fintech syariah yang lebih kuat, termasuk audit syariah digital dan perlindungan data konsumen muslim.
3. Pendidikan literasi syariah untuk masyarakat agar tidak mudah terjebak layanan keuangan yang hanya “berlabel syariah”.
4. Kolaborasi erat antara ulama, regulator, dan ahli teknologi untuk merumuskan digital fiqh framework yang benar-benar relevan.
Menjaga Integritas Syariah di Era Digital
Kita berada di persimpangan penting. Teknologi menawarkan peluang yang luar biasa, tetapi juga membawa risiko jika tidak dibingkai dengan prinsip syariah yang kuat. Tahun 2025 adalah saat bagi Hukum Ekonomi Syariah Indonesia untuk naik kelas lebih adaptif, lebih modern, namun tetap teguh pada nilai-nilai syariah.
Jika regulasi, teknologi, dan fikih dapat berjalan beriringan, ekonomi syariah Indonesia bukan hanya akan tumbuh, tetapi juga akan menjadi ekosistem yang adil, terpercaya, dan memberdayakan umat. Inilah kesempatan emas yang tidak boleh kita sia-siaka.
Syukri Fauzi, Jurusan Hukum Ekonomi Syariah, Universitas Wahid Hasyim, Semarang
