Islam Nusantara Mazhab Baru?

Dalam sejumlah percakapan yang tak selesai, kadang di serambi masjid tua, kadang di ruang seminar yang terlalu dingin, kita kembali mendengar istilah itu: Islam Nusantara.

Seperti sebuah gema yang datang dari balik masa lalu, ia tidak sepenuhnya baru, tetapi juga tidak sepenuhnya usang.

Ada yang mengangkatnya sebagai payung identitas, ada yang mencurigainya sebagai proyek ideologis baru.

Tetapi di sela kecemasan itu, kita mungkin lupa bahwa istilah ini, sebelum menjadi kontroversi atau slogan, mula-mula hanyalah sebuah cara melihat.

Bahwa Islam, ketika tiba di kepulauan ini berabad – abad lalu, tidak datang sebagai gelombang yang menghantam karang.

Ia datang sebagai ombak yang mengetuk pelan pesisir. Ia belajar menyebut nama-nama angin, mengenali ladang padi, dan memahami bahwa sebuah keyakinan kadang harus mencari kursinya sendiri dalam ruang budaya.

loading...

Maka ia menjelma menjadi sesuatu yang tak sepenuhnya Arab, tetapi juga tidak kehilangan kiblatnya.

Dalam banyak kitab hikayat, para ulama yang datang dari Gujarat, Persia, atau Hadramaut itu tidak sekadar membawa kitab.

Mereka juga membawa kesediaan untuk memahami bumi yang diinjaknya.

Mereka menyadari, barangkali lebih cepat daripada kita, bahwa agama bukan menara, melainkan sungai.

Ia mengalir mengikuti lekuk tanah, tanpa kehilangan sumbernya.

Di sinilah, jauh sebelum istilahnya dicetak di baliho-baliho abad ke-21, “Islam Nusantara” tumbuh sebagai praktik yang wajar; sebuah kesediaan untuk berdialog. Dialog itu menyisakan jejak.

Kita menemukannya dalam slametan atau kenduri yang memelihara ingatan kolektif desa, dalam tembang yang membacakan doa dengan bahasa yang tak sepenuhnya Arab, dalam tradisi maulid yang menjadi pesta, bukan sekadar ritual.

Dan dengan itu pula, Islam yang tumbuh di kepulauan ini mengambil bentuk lain dari yang terbiasa dilihat para pengelana dari jazirah.

Ia lebih lentur, tetapi tidak kehilangan porosnya; lebih ramah, tetapi tidak menanggalkan syariatnya.

Baca Juga  MENTERI KEUANGAN BARU, HARAPAN LAMA PARADOKS EKONOMI HINGGA DRAMA POLITIK

Orang kemudian mengatakan: ini terjadi karena relasi yang kuat antara Islam dan budaya lokal. Tetapi mungkin penjelasan itu belum cukup.

Sebab relasi yang kuat selalu dibangun oleh pilihan, bukan kebetulan.

Para ulama Nusantara tidak datang sebagai pasukan penakluk; mereka datang sebagai pengunjung yang belajar menghargai “rumah” yang didatanginya.

Mereka menunduk sebelum duduk.Sikap itu menjelma menjadi empat kata yang sering diulang dalam tradisi Ahlussunnah wal Jamaah: tawasuth, tasamuh, tawazun, i‘tidal.

Moderat, toleran, seimbang, menjaga keadilan. Empat kata yang, jika kita pegang hari ini, barangkali bisa menggantikan ribuan halaman rancangan undang-undang tentang kerukunan.

Sikap ini pula yang membuat Islam Nusantara tak pernah memberontak pada pemerintahan yang sah.

Bukan karena ia antikritik, melainkan karena ia memahami satu hal penting: bahwa negara, dengan segala kecacatannya, adalah wadah rapuh yang memerlukan kesabaran untuk dijaga.

Ia sadar bahwa perubahan tidak selalu datang dari teriakan, tetapi kadang dari cara menjaga api kecil yang tak padam-padam.

“Islam yang sumringah,” kata sebagian orang menggambarkan wajah Islam Nusantara. Ada yang menganggap istilah itu terlalu manis.

Tetapi kita tahu, di balik senyum itu pernah tumbuh perlawanan.

Dalam sejarah Perang Diponegoro, dalam laskar-laskar kecil yang mempertahankan desa dari kolonialisme, dalam kesediaan para kiai untuk mendirikan pesantren sebagai benteng budaya ketika segala yang lain bisa dijajah.

Sumringah bukan berarti tunduk; ia adalah cara menahan kemarahan tanpa kehilangan martabat.

Mungkin inilah yang membuat para pemikir seperti Azra melihatnya sebagai “jalan tengah”, bukan dalam arti kompromi, tetapi sebagai kemampuan untuk tetap teguh tanpa menjadi keras.

Dan itu, pada dunia yang kini diguncang ekstremisme, populisme, dan kecurigaan yang tak habis-habis, adalah sesuatu yang langka.

Tetapi, tentu saja, setiap konsep yang menjadi populer menghadapi nasib yang sama: ia diseret ke banyak meja, ditafsirkan dengan banyak kepentingan.

Baca Juga  SERIUS BERESKAN ODOL: SAATNYA MENYASAR PEMILIK BARANG DAN ARMADA

Islam Nusantara tiba-tiba menjadi spanduk politik, menjadi istilah yang dipertengkarkan, menjadi tuduhan atau pembenaran.

Ada yang menganggapnya proyek domestikasi agama; ada yang melihatnya sebagai penguatan identitas nasional.

Ada pula yang, dengan tergesa-gesa, menuduhnya sebagai “Islam baru” yang hendak mengubah syariat.

Padahal, jika kita kembali pada kerangka asalnya, Islam Nusantara bukanlah mazhab. Ia tidak menciptakan fikih baru. Ia hanya sebuah cara hadir.

Ia bukan perubahan pada isi, melainkan perubahan pada cara meletakkan isi itu dalam ruang sosial.

Orang boleh tidak setuju, sebab ketidaksepakatan adalah hak yang juga dipelihara oleh ajaran tasamuh.

Tetapi kesalahan terbesar adalah membacanya sebagai proyek pemisahan diri dari umat Islam lain.

Sebab sejak awal, ia justru lahir dari kesadaran bahwa Islam, di manapun ia berada, selalu berbicara pada alam dan manusia yang berbeda-beda.

Kita tahu, kemudian, bahwa Indonesia adalah sebuah rumah yang terlalu besar untuk dihuni oleh satu wajah saja.

Ada ratusan suku, puluhan agama dan kepercayaan, dan sejumlah luka sejarah yang belum sepenuhnya sembuh.

Dalam rumah semacam ini, keyakinan apa pun memerlukan kerendahan hati untuk dapat hidup bersama.

Barangkali itulah yang membuat istilah “Nusantara” penting: ia bukan sekadar geografi, tetapi sebuah pengakuan bahwa tanah air ini adalah ruang bersama.

Islam yang hidup di dalamnya tidak mungkin menjadi tamu yang memaksa tuan rumah menyesuaikan diri; ia adalah salah satu pembentuk rumah itu sendiri.

Sehingga, ketika KH Said Aqil menyebut Islam Nusantara sebagai “Islam yang memberi kesejahteraan dan kedamaian bagi seluruh rakyat Indonesia”, kita seperti sedang mendengar gema dari abad-abad yang lalu.

Bahwa Islam tidak datang untuk mengubah Nusantara menjadi Arab, tetapi untuk menjadikan manusia Nusantara lebih manusia: lebih damai, lebih adil, lebih seimbang.

Baca Juga  MEMBACA KEMBLI AHMAD WAHIB dan KELAHIRAN ISLAM LIBERAL

Namun barangkali pertanyaan terbesarnya bukan lagi “apa itu Islam Nusantara?”, tetapi “bagaimana kita merawatnya hari ini?”.

Sebab dunia kini bergerak dengan kecepatan yang tidak dikenal para ulama abad ke-15. Pola dakwah berubah, ruang publik berpindah ke layar ponsel, konflik identitas membesar dengan algoritma.

Islam yang ramah dapat berubah keras hanya karena sebuah potongan video. Islam yang seimbang dapat kehilangan neraca hanya karena gema hoaks yang viral.

Mungkin karena itulah konsep tersebut masih perlu diucapkan ulang.

Bukan sebagai slogan, tetapi sebagai pengingat bahwa agama tidak cukup hanya dihafal; ia harus dihadirkan dengan akal sehat dan jiwa yang bening.

Bahwa tradisi tidak selalu berarti masa lalu; ia juga bisa menjadi cara menyelamatkan masa depan.

Pada akhirnya, Islam Nusantara hanyalah cermin. Kita bisa melihatnya sebagai warisan, atau kita bisa memecahkannya dengan prasangka.

Tetapi di balik cermin itu, selalu ada satu hal yang tetap: bahwa agama, betapapun suci, selalu membutuhkan manusia yang bersedia merendahkan suara, mendengar, dan menyesuaikan langkahnya dengan bumi tempat ia berdiri.

Bumi itu, sejak lama, bernama Nusantara.

Gunoto Saparie adalah Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia Orwil Jawa Tengah.